Beragam Bantuan Untuk Bencana Kemanusian Yang Tega Mereka Tilep Juga
Oleh:Jacob Ereste
MediaPertiwi,co,id-Bantuan bencana yang disebabkan oleh ulah ketamakan manusia di Sumatra itu, baru datang setelah korban yang harus segera mendapat bantuan itu meninggal dunia. Bukan saja saat bencana ulah manusia ini terjadi, tapi setelah bencana itu sendiri mereda habis melantak lahan dan pemukiman rakyat yang rata dengan tanah.
Obat obatan terlambat datang untuk orang yang sakit ini, persis seperti bantuan makanan untuk hari ini yang tertunda hingga esok. Padahal daya tahan warga masyarakat yang terkena bencana tidak bisa ditunda sejenak pun, sebab kondisinya amat sangat gawat dan parah. Jadi bisa segera dibayangkan kelemahan fisik, mental -- bahkan mungkin juga moral -- akibat dera derita yang disebabkan oleh bencana ulah manusia ini -- tak hanya sekedar lapar, sebab bukan hanya kuali dan periuk tempat menanak nasi itu yang hilang, tapi dapur di rumah itu sudah terhubung lumpur yang tertindih oleh pohon hasil tebangan liar yang tak lagi pernah mau diakui oleh pemiliknya.
Masalahnya bukan saja untuk memasak air bersih yang tiada ada di lokasi bencana itu sangat dibutuhkan, tapi sekedar untuk merebahkan diri agar tidak ikut tumbang seperti sanak famili dan saudara lainnya, pun tiada lagi tersedia. Bahkan semua tempat pun sudah dipenuhi hasil gelontoran sungai yang meluapkan kemarahannya, entah untuk siapa. Sebab yang pasti dera dan deritanya adalah rakyat juga yang menerima dampaknya.
Sejumlah bantuan dan obat-obatan itu datang setelah jumlah korban semakin banyak bergelimpangan akibat tak lagi memiliki daya tahan akibat luka, patah tulang bahkan terserang angin malam yang dingin dengan perut kosong yang tidak terusi oleh sepotong makanan apapun. Bahkan sekedar untuk meredakan rasa haus, air di sungai yang keruh itu pun tak bisa dipaksa untuk dikonsumsi, meski sekedar untuk menunda kematian.
Karena itu bantuan dan pertolongan yang ikhlas hendak diberikan datang secara sepontan tanpa lika-liku yang berbelit -- apalagi cuma retorik politik demi pencitraan -- atau bahkan menutupi masalah yang sedang dicecar oleh penegak hukum karena ulah serta keculasan dari perbuatan jahat yang sedang hendak disembunyikan, seperti pemilih lahan perkebunan kelapa sawit dan tambang yang bermasalah, mulai sejak proses untuk memperoleh konsesi lahan -- yang langsung digunduli pepohonannya -- hingga peranbahan batas ilegal dari yang seharusnya dikelola oleh pihak pengusaha. Maka itu, sejumlah data dan fakta tentang lahan hingga pengusaha yang merasa memiliki kekuasaan untuk mengolah lahan tersebut sesuka hatinya, tampak sunyi dan tersembunyi dengan berbagai cara seperti gugatan kebakaran yang melanda pusat data dari perusahaan dron yang diduga menyimpan data yang dianggap dapat mengancam para pengusaha yang telah merusak alam dan lingkungan di berbagai wilayah dan rumput.
Oleh karang itu perburuan data tentang lahan konsesi untuk perkebunanan dan pertambangan tak hanya di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat semakin sulit ditemukan siapa penguasanya dan berapa ulasan lahan yang dikuasainya. Sebab para penguasa yang menguasai sejumlah lahan tersebut saling menyembunyikan data miliknya masing-masing, sekaligus untuk dijadikan bargaining Power ketika harus saling membuka atau membongkar kobobrokannya masing-masing karena diperoleh secara tidak wajar.
Begitulah fenomena kejahatan berjamaah di negeri ini, sehingga harus ada pejabat tinggi dan tokoh masyarakat yang merasa perlu untuk menyatakan bahwa tak sejengkal pun pejabat tertentu yang menguasai lahan seperti yang ditengarai telah menimbulkan bencana besar bagi manusia Indonesia yang justru terkesan dianggap oleh pemerintah sebagai kejadian bias. Sehingga bantuan dan ukuran tangan dari negara-negara tetangga jadi diabaikan. Bahkan tak hanya dianggap kecil, sehingga ada bantuan dari negara tetangga itu yang dipaksa untuk terus dikembalikan.
Idealnya bencana akibat ulah manusia yang rakus dan tamak ini semakin jelas akibat dari pembiaran terhadap proses hukum hingga tindak nyata yang tidak berpihak ppada rakyat. Karena itu sulit untuk dipercaya bahwa para pelaku kecukasan yang mengobral konsesi lahan untuk perkebunan dan pertambangan ini tidak pernah ajan tuntas diproses secara hukum yang berkeadikan. Sebab masing-masing pengusaha dan masing-masing saling menyandera untuk saling menutupi atau saling mengancam hendak membongkar kebobrokan masa lalu mereka yang tersandera itu, persis seperti perilaku para koruptor yang juga menyandera pihak penegak hukum hingga pengadilan berikut pengacara sampai petugas di lembaga pemasyarakatan, sekiranya proses hukum terpaksa harus dikakukan sampai ke ruang tahanan.
Sudah sedemikian itu pun prosesnya, tidak berarti selesai. Sebab proses kemudahan dan keringanan penanganan selama berada di bumi masih bisa dibuat enak dan dipercepat dengan potongan tahanan jauh lebih cepat dari yang bisa dibayangkan oleh banyak orang. Dan oleh karena itulah korupsi -- yang telah diakui sebagai tindak kejahatan super jahat -- masih terus terjadi dan semakin meningkat jumlahnya. Sebab semua bisa dibuat cincai. Bahkan dana bantuan untuk bencana akibat ulah manusia seperti yang terjadi di berbagai daerah Indonesia, mereka jadikan bancaan untuk memperkaya diri dan keluarganya. Kendati mereka tahu pasti dana yang ditilep itu tidak akan membawa berkah. Bahkan akan menjadi malapetaka bagi anak dan seluruh keluarga dan turunnya.
Banten, 26 Desember 2025.

Post a Comment