Pilihan Sikap Perlawanan Spiritual Thomas Lembong Menghadapi Realitas di Indonesia Harus dan Patut Dipahami Sebagai Perlawanan Sejati Yang Patut Dihargai
Oleh:Jacob Ereste
Mediapertiwi,id-Paparan Peter F. Gontha yang menulis tentang kemarahan terhadap putusan pengadilan terhadap Thomas Trikasih Lembong yang dikenakan ancaman hukuman penjara 4,5 tahun penjara akibat kebijakannya yang dianggap menguntungkan orang lain -- dan tidak terbukti untuk memperoleh keuntungan pribadi -- paparan Peter F. Gontha mengatakan "Kesalahan Mereka (yang berpendidikan hebat di luar negeri itu) Hanya Satu, Pulang ke Indonesia". Lantas, apakah dengan tidak usah pulang ke kampung halaman tempat kelahiran mereka sendiri masalah carut marut di Indonesia bisa diatasi dan terselesaikan.
Bagaimana pun kasus yang dijeratkan kepada Thomas Trikasih Lembong harus dapat dijadikan pembelajaran berharga, setidaknya kita dapat lebih diyakinkan bahwa drama di pengadilan pun sudah menjadi bagian dari proyek sutradara yang telah dijadikan sumber untuk memperoleh keuntungan, entah finansial atau pelanggengan kekuasaan yang telah menjadi bagian untuk dikapling seperti laut dan pantai di negeri kita, karena lahan di darat sudah habis semua dibagi-bagikan seperti kekayaan milik nenek moyang mereka sendiri. Sedangkan bagian untuk nenek moyang kita, pun sudah mereka rampas semua.
Artinya, ketika kondisi politik, hukum dan pengadilan serta kebijakan ekonomi hingga tata budaya maupun keagamaan kita sudah seperti itu adanya, maka perlawanan seperti apa yang dapat dilakukan kemudian harus dan wajib dilakukan oleh semua lapisan warga masyarakat sesuai dengan porsi dan kemampuan. Tapi intinya adalah perlawanan tetap dan wajib untuk dilakukan. Termasuk perang opini hingga perlawanan terhadap pengalihan isi agar tidak menjadi perhatian yang membangkitkan kesadaran warga masyarakat untuk bersikap dan melakukan perlawanan.
Sebab -- sekali lagi -- kecerdasan intelektual tidak berarti cukup untuk membenahi carut marut yang kusut di negeri ini -- karena kecerdasan spiritual tidak dikalkulasi sebagai bagian dari kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Sebab putra putri dari bangsa yang cerdas secara intelektual -- bila dikumpulkan di Lapangan Monas Jakarta, bisa tidak cukup luas untuk menampung jumlah mereka begitu banyak yang jenuin dan tangguh keilmuannya secara akademik -- namun untuk melakukan perbaikan dan pembenahan dari sistem yang praktiknya brengsek -- diperlukan keikhlasan dan ketulusan yang jujur yang tersimpan di wilayah spiritual, moral dan akhlak mulia manusia Indonesia yang masih banyak kita miliki juga.
Jadi menyebut sejumlah perguruan tinggi yang berkilau dari berbagai negara Eropa dan Amerika itu tidak ada gunanya kalau justru menyalahkan mereka memilih untuk pulang ke kampung halaman kelahirannya sendiri -- Indonesia -- yang perlu diperbaiki dan dibenahi karena memang terlanjur membudayakan cara kerja yang korup, tidak hanya soal duit dan dana proyek semata, tapi kebijakan, hukum dan perundang-undangan yang diijon sebelum pelaksanaan maupun hasilnya ada. Mulai dari renten terhadap UUD 1945 yang dijual eceran dalam bentuk amandemen berulang kali itu hingga tahun 2002 sampai hari ini, masih mendapat dana ekstra untuk mempertahankannya dari guncangan rakyat yang terus memprotes dan berunjuk rasa yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk sekedar mendapat uang recehan yang menang terus ditebarkan.
Kesan dari paparan tulisan yang mengatakan kesalahan putra putri bangsa yang kembali ke tanah tumpah darah leluhurnya Indonesia -- setelah selesai belajar di luar negeri yang selalu dimitoskan lebih unggul dan lebih canggih bahkan kredibel alumninya -- karena memilih pulang ke Indonesia, mengandung aroma yang tidak sedap terhadap sifat dan sikap nasionalisme kebangsaan bagi anak bangsa Indonesia, bahwa hidup itu seakan cuma ingin cari selamat saja, tidak memiliki rasa tanggung jawab moral dan sosial bagi bangsa dan negara Indonesia yang harus diselamatkan seperti apapun topan dan badai yang akan menghempaskan diri kita, sebagai patriot sejati yang patut dan pantas mewarisi negeri ini.
Sebab kemerdekaan bangsa yang direbut oleh para leluhur kita yang nyaris satu abad berselang dari penjajah, patut dan berhak kita warisi tidak cuma sekedar peninggalannya sebatas gono-gini, tetapi juga elan vital dan etos perjuangan mereka yang pernah membakar semangat perlawanan dengan darah dan seluruh jiwa maupun raganya -- harus tetap terjaga nyala api perjuangan yang tidak boleh padam itu. Sebab, bila tidak itu namanya pengkhianatan yang tidak mungkin dapat dimaafkan. Maka itu, pertempuran perlawanan harus tetap terus dilakukan. Lantaran yang kita hadapi sekarang adalah para dajjal berdasi yang tampil penuh pesona dan pencitraan diri yang selalu memukau dan menyilaukan tatapan kegamangan kita yang kosong.
Paparan Peter F. Gontha cukup bagus dan terkesan bijak. Hanya saja kesimpulannya yang salah dan menjadikan judul yang terkesan menimpakan kesalahan terhadap pilihan mereka yang mau pulang dan mengabdi untuk memperbaiki dan membenahi kerusakan yang parah akibat keserakahan dan ketamakan rezim penguasa negeri ini sebelumnya. Tetapi tidak berarti kita tidak wajib dan tidak harus ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan yang akan semakin dan membuahkan dosa bagi kita juga untuk generasi bangsa di masa mendatang. Jadi perlawanan intelektual memang harus disertai dengan perlawanan spiritual.
Banten, 22 Juli 2025.
Post a Comment