News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Kritik terhadap Pemahaman Jacob Ereste tentang Puisi Esai: Antara Kesalahpahaman dan Kekeliruan Analogi

Kritik terhadap Pemahaman Jacob Ereste tentang Puisi Esai: Antara Kesalahpahaman dan Kekeliruan Analogi

 

Oleh: Rizal Tanjung 

Mediapertiwi,id-Tulisan Jacob Ereste tentang puisi esai memperlihatkan sebuah kegagapan serius dalam memahami baik hakikat puisi maupun esai sebagai dua bentuk yang memiliki karakter estetika dan intelektual yang berbeda namun dapat menyatu dalam satu tarikan napas kreatif—jika dijalani dengan kesadaran sastra dan perenungan yang jernih. Sayangnya, Jacob justru memelintirnya dengan analogi biologi yang tidak relevan dan memaksakan tafsir ideologis yang bias serta tidak berpijak pada kesadaran literer.

Puisi Esai Bukan Perkawinan Sejenis, Melainkan Perkawinan Gagasan dan Kepekaan Jiwa

Pernyataan Jacob bahwa puisi esai adalah "perkawinan sejenis yang naib dan muskil" merupakan bentuk reduksi yang keliru. Ia mencoba memaksakan analogi biologis—bahkan sampai menyebut istilah LGBT—untuk menjelaskan sintesis antara puisi dan esai. Ini jelas merupakan kekeliruan konseptual. Dalam dunia sastra, istilah “perkawinan” antara genre bukanlah soal jenis kelamin (sebuah kategori biologis), melainkan proses intertekstual dan sintesis estetik-intelektual yang dapat memperkaya khazanah penulisan.

Puisi esai, pada dasarnya, adalah upaya menjembatani kontemplasi personal (puisi) dan kesadaran sosial (esai). Jika dilakukan dengan murni dari pengalaman batin dan refleksi yang mendalam, puisi esai bisa menjadi genre yang menggugah. Tapi bukan berarti karena namanya gabungan dari dua genre, lantas kita membandingkannya secara biologis dan menjatuhkan analogi tentang “kelainan seksual.” Ini bentuk miskonsepsi dan sekaligus penghinaan terhadap dunia sastra.

Puisi Esai Bukan Copy-Paste, Melainkan Ciptaan Jiwa yang Otentik

Kelemahan paling nyata dari praktik puisi esai yang marak saat ini, dan ini tak disadari oleh banyak penulisnya, termasuk yang dibela oleh Jacob, adalah bahwa banyak di antaranya hanya merupakan copi-paste dari laporan media. Yang diubah hanya susunannya agar menyerupai bentuk puisi. Tapi muatannya tetap laporan atau narasi yang telah jadi, tanpa digodok oleh batin penyair.

Puisi yang sejati, sekalipun berbasis realitas sosial, harus tetap lahir dari perenungan, rasa, dan pikiran orisinal penyair. Puisi esai yang hanya menyalin artikel berita dan memaksakannya dalam bentuk bait bukanlah karya puisi, melainkan semacam catatan editorial berirama. Ini tidak mencerminkan integritas artistik.

Maka klaim bahwa puisi esai yang demikian dapat memperkaya sastra Indonesia adalah keliru. Justru puisi esai yang malas secara intelektual dan beku secara estetik akan membunuh roh kesusastraan itu sendiri, menjadikannya seperti mesin produksi konten yang tak punya nyawa.

Jacob Ereste Gagal Memahami Esensi Sastra dan Estetika

Jacob menyatakan:

> “Kalau yang dominan itu adalah jenis kelamin puisi, maka anak turunan dari karya puisi esai itu akan dominan mempunyai ciri khas sastra yang kental.”

Analogi ini tidak hanya membingungkan, tapi juga absurd. Sastra tidak berbicara soal “jenis kelamin puisi” secara literal—itu adalah metafora yang telah kehilangan konteksnya karena dicampuradukkan dengan bias gender dan moralitas. Tidak ada “anak turunan” dalam genre sastra seperti dalam biologi; yang ada adalah turunan estetika dan bentuk pemikiran. Yang diperlukan bukan “gender puisi” melainkan ketulusan ekspresi dan daya gugahnya terhadap pembaca.

Jacob juga menyebut perlunya “kuliah 6 semester” untuk memahami LGBT dan menyamakannya dengan kompleksitas puisi esai. Ini bukan saja tidak relevan, tapi juga menunjukkan sikap tidak etis yang menyeret persoalan orientasi seksual ke dalam ruang kritik sastra—yang seharusnya dijaga netral secara etik dan intelektual.

Sastra Tidak Membutuhkan Pembelaan yang Bias dan Menghakimi

Jika ingin menyelamatkan “khazanah sastra Indonesia yang mati suri”, seperti klaim Jacob, maka pendekatan yang dibutuhkan adalah:

Pemahaman yang mendalam tentang genre,

Kesadaran kritis terhadap praktik estetika,

Kejujuran dalam mencipta, bukan sekadar menjiplak,

Dan keberanian untuk menolak kecenderungan pemalsuan atas nama karya sastra.

Puisi esai yang ideal adalah refleksi murni yang menggugat dan menyentuh, bukan hasil laporan yang diberi baju puitis. Ia mesti muncul dari kedalaman jiwa, bukan sekadar salinan pikiran dari media massa.

Jacob Ereste telah menunjukkan kegagalan dalam memahami puisi esai, baik dari sisi estetika, konseptual, maupun etika. Daripada memperkaya wacana, ia justru menyempitkan makna sastra ke dalam ranah analogi biologis yang tak relevan, bahkan menyesatkan. Puisi esai bukanlah hasil perkawinan sejenis yang muskil, melainkan ruang temu antara nurani dan nalar yang, jika digarap dengan sungguh-sungguh, dapat menjadi genre yang menghidupkan kembali jiwa sastra—bukan mematikan dengan salinan kosong dan tafsir keliru.

Sumatera Barat,2025.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment