Catatan dalam perjalanan pulang yang macet tak jelas penyebabnya
Oleh:Jacob Ereste
Mediapertiwi,id-Spiritual itu adalah jalan sunyi menuju kediaman Tuhan yang jauh dari kegaduhan, apalagi sekedar sensasi untuk memperoleh populeritas, atau semacam hasrat birahi untuk mendulang populeritas murahan. Sebab para dasarnya spiritualitas itu hanya mungkin bisa dilakukan dengan kerendahan hati, jujur dan ikhlas bukan untuk siapa-siapa, kecuali hanya bagi kemuliaan diri sendiri dan kebaikan untuk orang lain tanpa mengharap imbalan dalam bentuk apapun.
Takaran kejujuran dan keikhlasan dari kedalaman hati itu, tak terukur lantaran menjadi persyaratan yang tidak bisa sedikitpun ditawar atau dinegosiasikan dengan cara apapun. Sehingga dalam dimensi spiritualitas itu dapat dipahami sebagai bilangan yang pasti. Maka itu, spiritualitas itu jauh berada diatas intelektualitas yang paling jenius sekalipun. Sebab intelektualitas tidak memberi jaminan untuk teguh dan taat pada etika, moral dan akhlak mulia yang harus dimiliki serta terus dijaga oleh setiap manusia, agar dapat membedakan diri dari makhluk Tuhan yang lain. Lantaran manusia lebih mulia dari Malaikat, apalagi dibanding dengan makhluk lain yang hidup di hutan belantara.
Dalam konteks inilah manusia dapat dipahami dan sadari sebagai khalifatullah -- wakil Tuhan -- di bumi. Lalu mengapa manusia harus menggradasi derajat dan martabat nilai kemuliaan kemanusiaannya, hanya dengan mengabaikan dimensi spiritualitas yang dimilikinya, seperti yang tidak dimiliki oleh makhluk ciptaan Tuhan yang lain ?
Keprihatinan bangsa Indonesia hari ini adalah tercerabutnya jiwa dari raga, terlepasnya pikiran dan penalaran dari hati, hilangnya ruh, sukma serta rasa cinta kasih manusia yang tidak manusiawi karena terbuai oleh duniawi. Raga manusia yang terlepas dari jiwa. Merosotnya etika, moral dan akhlak dalam berbangsa telah membuat rakyat semakin sengsara.
Kerusakan jiwa di dalam raga, semakin memburuk hingga korupsi merajalela, penyalahgunaan dan kekuasaan semakin menakutkan. Semua arah arah masa depan menjadi sangat tergantung pada itikat baik para pemimpin yang tidak boleh egois, tidak bisa mementingkan hasrat pribadi, kelompok apalagi dinasti. Lalu haruskah rakyat bersikap diam, bila pemimpin masih terus bersikap culas ?
Pilihan sikap yang bijak tidaklah membiarkan habis kesabaran dan menumpahkan kemarahan yang tidak pernah bisa diduga akibat akhirnya. Sebab kita semua, tidak ingin menyelesaikan dengan menimbulkan masalah baru yang mungkin akibatnya jauh lebih sulit untuk disembuhkan seperti tragedi yang pernah terjadi.
Karena itu, gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual untuk menahan diri melalui tatanan etika, moral dan akhlak mulia yang luhur, perlu dan semakin mendesak untuk dilakukan, sebelum terlanjur menjadi penyesalan yang terlambat. Sebab perputaran waktu tak mungkin bisa untuk dikembalikan.
Pesing, 2 Juni 2025.
Post a Comment