Permainan Kotor di Balik Media dan Politik
Mediapertiwi,id-Di negeri yang dipenuhi mafia narkoba dan koruptor berwajah sok alim, datanglah seorang politikus kancil. Julukan itu melekat padanya karena tubuhnya mungil dan langkahnya gesit, licin bagai kancil. Kita sebut saja dia Kausul, anak dari seorang politikus tua keladi, Ambo Jus.
Si tua keladi, Ambo Jus, adalah seorang lelaki berambut putih yang hidupnya dipenuhi ironi. Saat masih muda, ia adalah pengangguran terhormat. Dalihnya, sedang berjuang di dunia politik, padahal hari-harinya dihabiskan berdebat di warung kopi sambil mengisap kretek. Istrinya, seorang guru SD, menjadi tulang punggung keluarga. Anak-anak mereka tumbuh kurus, hidup dalam kesederhanaan yang dipaksa. Tiap bulan, gaji sang istri habis untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sementara si suami terus bermimpi jadi wakil rakyat.
Keberuntungan datang. Si tua keladi lolos jadi anggota dewan. Tidak hanya itu, ia naik pangkat jadi ketua dewan. Istrinya yang bertahun-tahun setia mendampingi, tak lama kemudian meninggal karena sakit menahun. Orang bilang, ia terkena TBC, tapi semua tahu penderitaan batin lebih mematikan daripada penyakit apa pun.
Tak perlu waktu lama bagi si tua keladi untuk berkabung. Setelah pemakaman istri, ia buru-buru menikahi gadis muda dari seberang. Anak-anaknya terlantar, kehilangan ibu, nyaris tak mengenal ayah. Sang anak lelaki, kelak dikenal sebagai Kausul, lari ke markas pemberontak. Hidupnya di sana penuh risiko, tapi setidaknya ia merasa punya tujuan.
Damai akhirnya terwujud. Kausul selamat. Pejuang menampungnya, memberinya posisi strategis di lembaga bentukan eks kombatan. Ada banyak anggaran dikelola — untuk yatim piatu, janda, hingga proyek sosial. Tapi uang selalu menggoda manusia untuk lupa daratan.
Desas-desus mulai terdengar. Kausul dituduh menggelapkan anggaran. Beberapa eks pejuang marah besar, bahkan kabarnya ada yang menonjok wajahnya. Malu dan takut, Kausul menghilang. Ia mendekati partai lain, tapi mesin politiknya tak cukup kuat. Ia kalah di setiap pemilihan, hanya jadi penonton di kursi belakang. Tak ada uang, tak ada suara.
Ambo Jus, meskipun sudah uzur, terus melangkah. Bertongkat, ia singgah di kantor partai, membawa kisah-kisah lama yang nyaris basi. Ia masih yakin, bisikan dan masukan darinya bisa menentukan arah politik partai. Bagi sebagian orang, ia hanya hantu masa lalu yang tak mau pergi. Bagi yang lain, ia adalah sosok licik yang pandai menebar racun politik dalam senyuman.
Singkat kata, Kausul mendirikan media. Namanya aneh, Doormers. Tempat cucian kotoran si calon raja dan menyerang lawan. Untuk legalitas, Kausul memperalat seorang wartawan tengik yang tak tahu malu, kita sebut saja dia Adil Wak Sedih. Si wartawan ini terkenal dengan kecakapannya di bidang media, namun sepertinya tak bisa membedakan antara mencari kebenaran dan menjual prinsip demi uang.
Sosok Kausul: licik berkepala kecil, rambut jarang, kumis tipis. Pandai bicara, tapi penuh racun. Tangannya gemetar jika melihat tumpukan uang, matanya berkilat saat berbicara proyek.
Bersambung...
Tentang Penulis : Ery Iskandar adalah seorang pengamat pers dan jurnalis independen yang kerap mengkritisi praktik manipulasi di dunia media dan politik. Ia dikenal tajam dalam membedah permainan kotor antara media dan kekuasaan, mengungkap kepalsuan di balik topeng kemunafikan para pelaku politik. (*)
Post a Comment