News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Ery Iskandar: Sosok Tangguh di Tengah Kepalsuan Pers Aceh

Ery Iskandar: Sosok Tangguh di Tengah Kepalsuan Pers Aceh

 
Mediapertiwi,id-Di dunia pers Aceh yang kian digerus oleh kepentingan uang dan kekuasaan, nama Ery Iskandar mencuat sebagai sosok yang tak gentar berteriak lantang. Meski hidup serba kekurangan, tanpa tempat tinggal tetap, dan penghasilan tak menentu, Ery tak pernah menjual integritasnya. Ia memilih menjadi suara sumbang yang meruntuhkan dinding kepalsuan yang dibangun oleh para pelaku pers semu.

Keberanian Ery tak sekadar muncul dari pena, tetapi dari kemarahan yang terpendam melihat praktik-praktik curang yang kian menggila. Ia melihat bagaimana oknum PamHum — pawang hutan yang tiba-tiba menyulap diri menjadi wartawan UKW — merajalela di dunia pers Aceh. "Mereka punya uang dan jaringan, yang uji juga tukang beking dia," kata Ery getir. Sebagai wartawan yang benar-benar bekerja dari bawah, Ery tak habis pikir bagaimana seorang yang tak pernah menulis berita, bisa tiba-tiba mendapat kartu kompeten wartawan.

PamHum bukan hanya satu-satunya target Ery. Ada pula sosok-sosok lain yang ia sebut sebagai JupiKar — jurnalis pokir tanpa karya, yang mendirikan perusahaan pers semu hanya demi mengakses dana publikasi. "Konten dan isi berita mereka sungguh memalukan," ungkapnya. Para JupiKar ini, menurut Ery, bukan hanya merusak dunia pers Aceh tetapi juga memperburuk citra wartawan yang bekerja dengan jujur dan tulus.

Kini, semakin banyak pihak yang mulai resah dan terganggu oleh keberanian Ery. Mereka bukan hanya oknum pawang hutan, tetapi juga tenaga kontrak PamHum, dosen, kontraktor, aktivis LSM, hingga karyawan BUMN yang tiba-tiba menyusup ke dunia pers. "Mereka sewot karena aksi mereka menyusup ke pers untuk menguasai pokir dibongkar habis-habisan," ujar Ery. Bagi Ery, keterlibatan para penyusup ini bukan hanya merusak profesi wartawan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap pers sebagai pilar demokrasi.

"Kini mereka andalkan wartawan senior untuk serang pribadi saya. Mereka bilang saya pengamat pers abal-abal lah," ujar Ery sambil tersenyum getir. Ia tahu, serangan-serangan itu hanya untuk mengalihkan perhatian publik dari fakta yang ia ungkapkan. "Si oknum senior itu digunakan sebagai pemred mereka, wajarlah jadi beking," lanjutnya.

Namun, perjuangan Ery tak mudah. Berulang kali ia menerima ancaman halus, baik melalui pesan singkat maupun sindiran dari rekan-rekan wartawan lain yang merasa terusik oleh tulisannya. "Mereka bilang aku cari masalah. Tapi masalah itu ada di depan mata, dan aku tidak bisa diam," ujar Ery sambil mengingat momen ketika ia mendapat informasi akan dikeroyok oleh sekelompok orang yang tak terima dengan tulisannya tentang permainan proyek publikasi di salah satu dinas di Aceh.

Bagi Ery, menjadi wartawan bukan tentang kartu UKW atau status media terverifikasi. Baginya, wartawan sejati adalah mereka yang tak gentar menyuarakan kebenaran, meski hidupnya serba kekurangan. "Aku tidak punya rumah, tidak punya mobil, tapi aku punya pena yang masih jujur," katanya. Kata-kata itu terlontar saat ia mengisahkan kisah hidupnya penuh getir akibat dia tetap bertahan di dunia pers. Di situ, ia mengkritik bagaimana para wartawan UKW yang mestinya menjaga etika justru menjadi pelaku korupsi berjubah pers.

Seiring berjalannya waktu, Ery semakin sering menulis tentang pers semu. Ia memfokuskan perhatiannya pada media-media baru yang tiba-tiba bermunculan hanya untuk mengincar proyek publikasi pemerintah. "Mereka punya struktur redaksi di atas kertas, tapi realitanya hanya satu orang yang mengerjakan semuanya," ungkap Ery sambil menunjukkan dokumen perusahaan pers yang ia kumpulkan dari berbagai sumber. "Redaktur mereka fiktif, wartawannya tak pernah menulis berita. Tapi nama mereka ada di kolom kontak perusahaan pers yang mengaku punya jaringan nasional."

Bagi Ery, dunia pers semu ini tidak hanya merusak etika jurnalistik tetapi juga mengancam keberlangsungan pers lokal yang bekerja dengan jujur. "Aku lihat beberapa media lokal yang dulunya eksis, sekarang mati karena dana publikasi habis dikuras oleh media semu ini," tuturnya. Di saat para JupiKar menikmati hasil proyek-proyek fiktif, Ery hanya bisa duduk di warung kopi sambil mengetik di laptop tua yang layarnya retak. Ia menulis tak hanya demi uang, tetapi demi menjaga kewarasan dan prinsip.

Ketika PelitaAceh.co.id merilis laporan tentang permainan jurnalis UKW di kantor-kantor pemerintah, Ery menangkap peluang untuk menggali lebih dalam. Baginya, itu bukan sekadar berita lokal yang lekas berlalu, melainkan pintu masuk untuk menelusuri jejak-jejak ketidakberesan di dunia pers yang selama ini dibiarkan membusuk. Ia mengurai jejaring pers semu yang dibangun oleh para wartawan UKW yang tak lagi peduli pada kode etik, melainkan bernafsu mengejar proyek-proyek publikasi.

Meski hidupnya jauh dari kata sejahtera, Ery memilih tetap menyuarakan kebenaran. Ia tak memiliki rumah sendiri, terpaksa menumpang di rumah neneknya di Julok, Aceh Timur. Namun, kesempitan hidup itu tak pernah membuatnya bungkam. "Menulis adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup di tengah kepalsuan ini," ujarnya.

Di satu sisi, Ery mendapat dukungan dari kalangan wartawan independen yang merasa suara mereka terpinggirkan. Mereka menganggap Ery sebagai harapan terakhir untuk mengingatkan publik bahwa pers yang benar-benar merdeka masih ada, meski jumlahnya kian menipis. "Ery itu gila, tapi gilanya positif," kata seorang rekan wartawan senior yang enggan disebut namanya.

Namun, tak sedikit pula yang menganggap Ery hanya mencari sensasi. "Dia menulis soal JupiKar, soal PamHum, tapi apa buktinya?" ujar seorang wartawan UKW yang merasa tersindir oleh tulisan-tulisan Ery. Tapi bagi Ery, tanggapan semacam itu hanya menunjukkan betapa kuatnya pengaruh pers semu dalam meracuni dunia jurnalistik.

Bagi Ery Iskandar, menulis bukan sekadar pekerjaan. Menulis adalah perlawanan, cara untuk tetap hidup dalam dunia yang semakin dibutakan oleh uang. Ia tak peduli pada ancaman atau cibiran, tak takut pada kuasa dan pengaruh para penguasa pers yang merasa terusik. Di matanya, seorang wartawan sejati bukanlah mereka yang bersertifikat dan berdasi, tetapi mereka yang berani menyampaikan kebenaran meski hidup serba kekurangan.

Dan itulah yang membuat Ery Iskandar bukan sekadar penulis. Ia adalah pengingat bahwa pers yang independen tak boleh terjual pada harga berapa pun. Dalam hidupnya yang keras, ia memilih tetap menggenggam pena sebagai senjata. Pena yang ia yakini masih lebih tajam dari segala ancaman, lebih berharga dari segala iming-iming proyek fiktif. Dengan pena itulah, Ery Iskandar akan terus menulis, meski dunia pers di sekitarnya semakin gelap. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment