News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Mulai dari Kebakaran Hutan dan Lahan Hingga Bencana Banjir Bandang Mengapa Rakyat Harus Menanggung Dera dan Derita Karena Ulah Kerakusan Mereka

Mulai dari Kebakaran Hutan dan Lahan Hingga Bencana Banjir Bandang Mengapa Rakyat Harus Menanggung Dera dan Derita Karena Ulah Kerakusan Mereka

 

Oleh:Jacob Ereste 

MediaPertiwi,id-Mencabut konsesi hutan untuk 18 perusahaan dengan total luas 526.144 hektar. Hakekatnhya sama dengan mencabut SIM (Surat Izin Mengemudi) setelah insiden kecelakaan yang dilakukan seorang sopir setelah melabrak sejumlah pengguna jalan lainnya secara ugal-ugalan. 

Jadi masalah pencabutan konsesi hutan untuk 18 perusahaan ini, tidak lantas berarti telah mengatasi masalah bencana banjir akibat ulah manusia ini. Sebab dari proses pemberian konsesi yang salah harus segera diusut pelakunya, bukan justru  mencari kambing hitam terhadap pihak perusahaan yang memperoleh konsesi hutan yang dilelang secara ugal-ugalan. 

Sebab pihak perusahaan hanya memanfaatkan saja fasiltas pemberian konsesi hutan tersebut dengan tebusan yang pasti tidak murah. Lalu siapa saja yang ikut menikmati konsesi hutan itu hingga harus membuat rakyat menanggung dera dan derita yang sangat mungkin telah memupus masa depan anak cucu mereka yang sangat diharap mampu memperbaiki kualitas hidup serta masa depan yang bisa lebih menggembirakan.

Anda bisa bayangkan satu keluarga yang kehilangan hewan ternak dan lahan penghidupan mereka yang menjadi bagian dari tumpuhan harapan hidup telah hilang tersapu banjir hingga tidak jelas bagaimana cara untuk memulihkan kondisi seperti semula yang telah menyita seluruh daya dan upaya mereka untuk membangun masa depan yang lebih baik dan lebih manusiawi, bukan sekedar untuk mengurangi angka kemiskinan yang terkadang tidak terbilang dalam kalkulasi statistik agar tidak memperkukuh kondisi ekonomi negara yang selalu terkesan buruk.

Satu keluarga lain yang ikut tergulung bencana akibat ulah keserakahan manusia ini, justru kehilangan seorang putra terbaiknya yang sangat diharap dapat menjadi generasi penerus dari sebuah keluarga yang sangat mendambakan perbaikan generasi masa depan yang akan mewarisi negeri ini, agar bisa lebih baik dan lebih beraradab dalam tatanan lokal, regional maupun nasional untuk bercampur-gaul dalam tata pergaulan tata peradaban dunia.

Artinya, bencana akibat ulah manusia seperti yang terjadi di Indonesia secara beruntun sejak pertengahan tahun 2025 hingga akhir tahun hingga menjelang tahun baru 2026, patut diusut tuntas sejak awal pemberian konsesi hutan yang diobral secara ugal-ugalan hingga harus ditarik kembali dengan mendiskreditkan sejumlah perusahaan yang dikesankan sebagai penanggung dosa utama dari kerusakan lingkunga hingga tidak memiliki daya tahan dari gerusan air yang melabrak semua lahan dan pemukiman rakyat berikut ternak peliharaan mereka yang menjadi pengharapan jaminan kelangsungan dari tata kehidupan mereka berikutnya.

Kini semua itu punah, tiada jelas bagaimana harus menggantikannya. Apalagi untuk anggota keluarga mereka menjadi korban. Meninggal dunia dan hilang tidak jelas juntrungannya. Apalagi bantuan yang hen dak diberikan masih menjadi polemik dengan prosedur yang berbelit -- kusut -- tak kunjung dilakukan kecuali  atas inisitif warga masyarakat yang menaruh empaty dan mempunyai penggarapan atas dasar kemanusiaan. Bukan pamrih politik atau sekedar pencitraaan belaka.

Pemerintah harus bertindak obyektif dan adil -- tidak menutupi kesakahan dan kekeliruan pejabat yang terlibat dalam pemberian konsesisi secara ugal-ugalan itu, ternasuk menghindari dari jebakan sikap dan sifat yang saling menyandera untuk menutupi kesalahan dan kekeliruan kaki tangan rezim masa lalu yang masih bercokol karena memegang sejumlah rahasia dosa masa lalu yang dijadikan sebagai dasar untuk saling menyandera. 

Karena itu, sejunlah nama penguasa atau pemilik perusahaan tampak disembunyikan atau ditutup-tutupi agar tidak saling membongkar kebobrokan yang telah mereka lakukan.

Delapan belas perusahaan yang sudah dikenakan sanksi pencabutan terkait dengan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 2025 dan masalah konsesi hutan, diantaranya adalah PT. Subur Agro Makmur di Kalimantan Selatan, PT. Esa Dinamika di Sumatra Selatan,  PT. Paramita Mulia Langgeng di Sumatra Selatan, PT. Persada Permai di Sumatra Selatan, PT. Sebtosa Bahagia Bersama di Sumatra Selatan, PT. Wahana Kestari Makmur di Sumatra Selatan, PT. MHP di Sumatra Selata, PT. London Sumatra di Sunatra Selatan, PT. Muara Bibit Lestari di Sumatra Selatan.

Lalu bagaimana masalah lahan perkebunan dan pertambangan yang juga telah menimbulkan berbagai masalah banjir dan penjarahan hutan yang tidak cuma diambil kayunya hingga ke akarnya yang membuat tanah menjadi kehilangan daya serap dan penahan air yang telah menjadi bah seperti yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat pada November hingga Desember 2025 yang telah menimbulkan banyak korban harta benda dan nyawa manusia ?

Akankah perselingkuhan akibat saling sandra antara pejabat yang satu dengan pejabat yang lain itu akan tetap ditutupi agar tidak samua saling mempermalukan ?

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang dicatat oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dari berbagai tempat dan daerah sungguh mengerikan karena terjadi secara terstruktur, sistematis dan massif pada 1 Juli 2025 di Indonesia  terdapat 20.788 titik  api dengan jumlah 639 katagori tinggi, level sedang 19.656 hotspot dan level rendah sebanyak 943 hotspot. Hingga saat ini pemerintah tidak berani melakukan evaluasi terhadap 969 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah puluhan tahun beroperasi di wilayah gambut dan hutan seluas 5,6 juta hektar. 

Walhi juga mencatat sudah cukup banyak perusahaaan yang telah diputus bersalah oleh pengadilan, namun tidak ada proses eksekusi putusan yang jelas dan tidak juga dicabut izinnya. Menurut Walhi, impunitas dan ketundukan negara terhadap pengusaha inilah yang menjadi akar persoalan serius dalam masakah Karhutla di Indonesia.

Betapa pentingnya mitigasi bencana yang terintegrasi antara bencana dan banjir seperti yang baru saja terjadi di Sumatra -- Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat -- yang sangat parah dan telah membuat rakyat sangat menderita, adakah krisis ekologi yang saling berkelindan. Selain kelalaian dan ugal-ugalannta pejabat pemerintah memberi konsesi demi fulus dan untuk memoerkaya diri sendiri juga menunjukkan degradasi ekosistem telah mempermarah penderitaan rakyat sekutarnya yang terdampak.

Karhutla di Aceh sepanjang tahun 2024 tercatat 7.257, 35 hektar hingga menjadi peristiwa terburuk sepanjang 5 tahun terakhir. Angka ini menurut Walhi melonjak empat kali lioat dibanding tahun 2023 yang tercatat sebesar 1.936, 86 hektar. Ledakan angka Karhutla ini menempatkan Aceh pada peringkat keempat tertinggi di Sumatra pada tahun 2024 dan peringkat ke-12 di Indonesia. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa Aceh memang berada dalam bayang-bayang  krisis ekologis yang serius.

Antara April hingga Juli 2025 di Sumatra Barat tercatat 1.225 titik hotspot  yang terpantau melalui Citra satelut (NASA SNPP). Gubernur Sumatra Barat ketika itu sempat menetapkan Status Siaga Darurat Karhutla selama 60 hari berdasarkan SK. Gubernur Sumbar No. 360-416-2025 meliputi 10 kecamatan dan 22 nagari. 36 titik hotspot di Sumatra Barat ketika itu ditemukan di konsesi perusahaan PT. Citalaras Indonesia, HGU Husdi Gunawan. PT. Sumatra Jaya Agro Lestari. PT. Sapta Sentosa Jaya Abadi, dan PT. Sukses Jaya Wood. Kebakaran hutan dan lahan di Sumatra Barat selaku berulang di lokasi yang sama. Biasanya terjadi beriringan dengan alih fungsi lahan gambut dan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Sedangkan di Riau sejak Januari hingga Juli 2025 ada 1.000 hektar hutan dan lahan yang terbakar. Titik api yang terpantau oleh Walhi berada di dalam areal perusahaan perkebunan kayu dan kelapa sawit PT. Perawang Sukses Perkasa, PT. Citra Buana Inti Fajar, PT. Riau Andalan Pulp & Paper, PT. Sekaras Abadi Utama, PT. Diamond Raya Timber. CV. Bhakti Praja Mulia, PT. Ruas Utama Jaya dan PT. Jatim Jatlya Perkasa.

Temuan Walhi titik api yang terdapat di konsesi perusahaan PT. RAAP (APRIL & PARTNER),  PT. DRT (Barito Grup) adalah perusahaan yang juga terbakar pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan PT. Jatim Jaya Perkasa (Wilmar Grup) yang telah diputus bersalah melakukan perbuatan melawan hukum terkait pengrusakan dan pencemaran lingkungan hidup dan pembakaran hutan dan lahan bersasarkan putusan Mahkamah Agung kembali ditemukan oleh Walhi titik api yang kembali berkobar di area kerjanya. Jadi memang pengusaha sungguh membandel dan aparat penegak hukum pun gemar bermain mata untuk mendapatkan fulus dan pundi-pundi dari pihak pengusaha.

Artinya, rakyat yang terdampak oleh bencana Karhutla maupun banjir bandang sungguh tidak bisa tinggal diam. Bila tidak, maka selamanya rakyat akan menjadi bukan-bulanan pengusaha dan aparat yang terus bermain mata. Mulai dari mengobral konsesesi hingga menutupi keculasan dan kecurangan pengusaha yang selalu mau untung dan enak sendiri.

Saran dari Walhi, seharusnya penegak hukum tak hanya menangkap pelaku-pelaku kecil, tapi juga harus menangkap bandar atau pemilik modal dari perusahaan yang culas itu.

Begitu juga Karhutla di daerah lain, hingga Juli 2025 di Kalimantan Selatan terdapat 120 titik hotspot. Antara Mei - Juli 2025 di Kalimantan Barat terdapat 8.644 titik api, meliputi Sanggau 1816 hotspot hingga Mempawah dan Sambas 1.190 hotspot, Landak 807 hotspot, Ketapang 657 hotspot. Dan hotspot terbanyak justru di PT. Perkebunan Nusantara XIII, PT. Kapuas Palm Industri, PT. Sumatra Unggul Makmur. PT. Kakimantan Unggul Makmur, PT. Mitra Austral Sejahtera, dan PT. Peniti Sungai Purun.

Banten, 25 Desember 2025.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment