News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

KASUS PENGADAAN BATIK ASN DI SINJAI: Antara Klarifikasi dan Pembuktian

KASUS PENGADAAN BATIK ASN DI SINJAI: Antara Klarifikasi dan Pembuktian

 

Oleh :Nurzaman Razak

Mediapertiwi,id-Pengadaan seragam batik bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) lingkup Pemerintah Kabupaten Sinjai oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Sinjai, kini menjadi sorotan publik. Kasus ini tengah ditangani oleh Unit Tipidkor Polres Sinjai setelah adanya laporan masyarakat yang mengindikasikan adanya dugaan tindak pidana, Jumat (3/9/2025).

Penanganan kasus oleh kepolisian tentu bertujuan untuk memastikan apakah dalam pengadaan seragam batik tersebut terdapat unsur pelanggaran keuangan negara, pemaksaan, maupun dugaan mark-up harga yang dapat mengarah kepada tindak pidana korupsi. Proses hukum yang berjalan saat ini berada pada tahap klarifikasi sekaligus pembuktian.

Makna Keuangan Negara dalam Kasus Tipikor

Tanpa bermaksud mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan, penting kiranya memahami makna “keuangan negara” sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan.

UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menegaskan bahwa keuangan negara mencakup kekayaan negara dalam bentuk apapun, baik yang dipisahkan maupun tidak dipisahkan, termasuk segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara di pusat maupun di daerah.

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan negara sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara, yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK (Pasal 1 angka 15) juga menegaskan definisi kerugian negara/daerah, yakni kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai.

Dengan demikian, jika pengadaan batik ASN tersebut memang menggunakan dana APBD atau bersumber dari keuangan daerah, maka hal itu termasuk dalam ruang lingkup yang dapat diperiksa dari perspektif tindak pidana korupsi.

Klarifikasi vs Pembuktian

Dalam tahap penyelidikan, aparat kepolisian akan melakukan klarifikasi dengan mengumpulkan informasi awal, memeriksa saksi-saksi, serta melakukan verifikasi data. Selanjutnya, pembuktian diperlukan untuk memastikan apakah terdapat kerugian negara, pemaksaan terhadap ASN, maupun praktik mark-up harga. Jika ketiganya dapat dibuktikan, maka perkara ini dapat mengarah pada tindak pidana korupsi.

Namun, bagaimana jika pengadaan batik tersebut murni swadaya Dekranasda Sinjai, tanpa menggunakan APBD? Bagaimana jika pengadaan dibiayai melalui kas organisasi Dekranasda atau bahkan bersumber dari iuran pribadi ASN secara sukarela?

Jika demikian, maka pengadaan tersebut lebih tepat dipandang sebagai kegiatan organisasi sosial yang sah, apalagi jika batik yang diproduksi merupakan batik khas daerah yang bertujuan melestarikan identitas budaya lokal. Yang menjadi poin penting adalah apakah ada unsur kewajiban, pemaksaan, atau penggunaan keuangan daerah di dalamnya.

Harapan Publik

Masyarakat tentu berharap agar proses hukum yang dilakukan tidak berhenti pada sebatas klarifikasi semata. Kepolisian diharapkan bekerja transparan, objektif, dan profesional sehingga tidak menyisakan asumsi negatif yang dapat mencederai harkat dan martabat pihak-pihak tertentu.

Referensi Hukum Terkait

UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.(**).

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment