Algoritma Sebagai Alat Akan Sangat Tergantung Bagaima Memanfaatkannya Bagi Jurnalis Maupun Penulis
Oleh:Jacob Ereste
MediaPertiwi,id-Tak ada yang salah pada sistem algoritma untuk diterapkan dalam upaya mengatasi masalah hidup dan kehidupan sehari-hari. Algoritma itu ibarat resep untuk memasak gulai kepala ikan agar gurih dan lezat, sehingga bisa dilakukan oleh orang yang belum pernah memasak sekalipun sepanjang hidupnya. Namun dengan algoritma dia bisa menyajikan menu yang enak, meski tidak terlalu istimewa.
Toh, algoritma banyak dipakai dalam program komputer sehingga kemampuan komputer itu bisa serba rupa, bulan hanya untuk mengimbangi kecepatan menulis, tetapi juga mampu melakukan koreksi terhadap huruf yang salah diketuk sehingga bisa kehilangan makna dari apa yang dimaksudkan oleh sang penulis, termasuk melakukan penterjemahan dalam jumlah yang banyak. Pendek kata, fungsi dan peran algoritma untuk mempermudah manusia menyeselaikan pekerjaan termasuk menghitung dalam melakukan pertambahan, perlakuan atau pun pembagian dalam waktu yang sangat cepat --dan hasilnya akurat --seperti kerja mesin kalkulator yang juga telah menjadi bagian dari sistem kerja komputer atau laptop yang kini bertebaran, sehingga tak lagi terkesan sebagai barang yang mewah.
Sejak lama, toh algoritma telah digunakan dalam bidang ilmu matematika, untuk mengambil keputusan yang cepat, nyaris tidak banyak berbeda dengan cara kerja mesin anjungan tunai mandiri (ATM) yang cuma dicolokkan, lalu dipencet sejumlah angga yang diperlukan, lalu duit yang diperlukan bisa mengucur dari mesin ATM yang kita gunakan itu. Artinya, algoritma tidak ada masalah untuk digunakan selama algoritma itu dapat memberi manfaat bagi kepentingan atau keperluan yang kita inginkan.
Jadi, perlakuan terhadap algoritma bisa disikapi seperti perlakuan kita terhadap mesin, tak perlu ada sikap tenggang rasa. Atau rikuh pakewuh, persis seperti saat hendak memaksakan kendaraan yang kita kendarai untuk mendaki sebuah perbukitan yang terjal dan tidak merata permukaannya. Sebab yang lebih penting kita lakukan adalah menakar kemampuan mesin kendaraan tersebut, apakah kuat atau tidak kuat untuk mendaki bukit yang terjal dan tidak rata permukaannya itu.
Jadi, perlakuan terhadap algoritma itu , tidak banyak berbeda dengan perilaku kita terhadap mesin sehingga bisa minimal untuk menggunakan rasa belas kasihan, tidak seperti perlakuan kita terhadap terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh manusia.
Profesi wartawan sebagai pilar keempat demokrasi, agaknya kalau terkesan kropos dan sedang terancam ambruk, jelas bukan disebabkan oleh algoritma, tetapi akibat dari perkembangan teknologi modern yang melakukan tukar guling dengan dengan lagan media cetak maupun media audio visual sekaligus media audio tipe yang kini berada di telepon genggang atau yang lebih akrab disebut handphone yang serba canggih dalam merampas pangsa pasar sejumlah media maenstrem tersebut menjadi tidak laku. Sebab hampir semua berita, informasi, serta alat untuk berkomunikasi hingga publikasi pun bisa diperoleh atau dilakukan sendiri oleh setiap orang yang menginginkannya seketika itu juga. Bahkan melalui google setiap orang bisa bertanya tentang apa saja yang relatif bisa dijawab dalam waktu yang cepat. Bahkan lewat ChatGBT pun semua orang bisa dimanjakan dengan pelayanan yang dapat dilakukan untuk bertanya tentang apa saja, termasuk cara untuk memperoleh duit dengan secara cepat.
Pada akhirnya, toh penyelesaian akhir -- termasuk dari hasil kerja algoritma -- tetap akan dulukan sendiri oleh mereka yang memerlukan dari hasil kerja algoritma maupun mesin hitung tersebut. Jadi algoritma itu tidak bisa dikatakan telah membunuh profesi wartawan maupun penulis, tapi justru mempermudah cara kerja bagi mereka yang mampu menggunakannya. Sedangkan kebangkrutan media maenstrem -- karena tidak jagi memiliki banyak peminatnya sekarang, sehingga tidak bisa lagi banyak terjual -- lantaran masyarakat sekarang lebih banyak yang beralih kepada media sosial berbasis internet, akibatnya media maenstrem kehilangan pangsa pasar, sehingga tidak lagi banyak yang membutuhkannya, alias tidak lagi ada pembelinya. Artinya jelas, bukan lantaran algoritma yang menjadi penyebab merananya media maenstrem yang ada di Indonesia hari ini. Kegundahan orang terhadap fungsi dan peran algoritma dalam proses kerja jurnalistik maupun penulis, sekedar rasa takut dalam proses kreatif dalam bidang jurnalistik dan tulus menulis itu, ketika sepenuhnya hasil kerja algoritma itu akan disajikan dalam kondisi yang mentah.
Tentu saja nenu sajian yang tak ada sentuhan kemanusiaannya -- karena dibuat oleh mesin -- tentu saja akan terasa bahkan terkesan tidak akan memiliki nilai humanis seperti yang menjadi kekuatan tampilan dari sajian sebuah karya jurnalis atau karya tulis. Jadi, kecenasan dan kegundahan terhadap proses kreatif dari kerja seorang jurnalis maupun penulis jelas tidak relevan serta tidak menemukan kontektualitasnya dalam proses kerja yang sangat memerlukan nilai kreatifitas yang pasti berbeda dengan hasil kerja mesin.
Padanan dari ibaratnya yang mendekati persis seperti kain batik yang dibuat oleh tangan pasti nilai seninya berbeda dengan batik buatan mesin. Padahal, dunia jurnalis dan penulis itu sejatinya meliputi seni kreatif yang inovatif dan biasanya juga ada nilai-nilai inventif yang menjadi usungan dari kerja tersebut.
Pecenongan, 13 Oktober 2025.
Post a Comment