Mafia Bertopeng Pers Diduga Kuasai Anggaran Iklan Pemko Lhokseumawe
Mediapertiwi,id-Lhokseumawe-Polemik alokasi iklan miliaran rupiah di Pemerintah Kota Lhokseumawe semakin panas. Di balik angka besar itu, sejumlah pihak menuding ada praktik kotor yang dimainkan mafia bertopeng pers bersekongkol dengan oknum anggota dewan.
Menurut informasi yang dihimpun baru baru ini, pola ini bukan hal baru. Jauh sebelumnya, aksi serupa sudah marak di Aceh Utara melalui praktik jual kalender tahunan ke sekolah-sekolah, yang disebut-sebut bagian dari pokir publikasi. “Sekarang karena lahan si oknum itu sudah mengecil tidak menyurutkan langkah dia untuk tetap menguasai anggaran sebanyak-banyaknya,” ujar seorang sumber yang memahami sepak terjang oknum berinisial ES, Kamis, 28 Agustus 2025
Oknum ES digambarkan sebagai sosok tamak yang sudah berkecukupan secara materi. Ia disebut memiliki kebun luas, mobil mewah, dan harta berlimpah. Namun, keserakahan itu tak pernah padam. Jalur anggaran pokir dewan hingga pos iklan SKPK ditengarai tetap dikuasainya dengan cara-cara licik.
Ironisnya, meski telah menikmati anggaran jumbo, tradisi lama jualan kalender ke sekolah-sekolah tetap berjalan. Praktik ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan menimbulkan keluhan di kalangan guru maupun kepala sekolah, yang merasa dipaksa membeli produk yang tidak relevan dengan kebutuhan pendidikan.
Mayoritas media lokal di Lhokseumawe justru mengaku tak pernah mendapat kue iklan. Dana besar hanya dinikmati media tertentu yang dekat dengan lingkaran dewan. Fenomena ini menegaskan dugaan bahwa anggaran iklan Pemko Lhokseumawe tidak dikelola secara profesional, melainkan dikuasai mafia bertopeng pers yang memelihara hubungan mesra dengan elit politik.
Pemantau Pers, Eri Iskandar, hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi situasi ini. Dengan nada lirih ia berujar, “Pantas kita lapar begini, rupanya ada mafia kuasai anggaran iklan publikasi media.”
Lebih jauh, Eri menyebut aksi oknum ES kian mulus karena mendapat angin segar dari sebagian aparat penegak hukum. “Dikit-dikit oknum APH konsul dengan dia juga terkait wartawan, makanya dia merasa di atas segalanya,” pungkas Eri.
Terkait tudingan tersebut, hingga berita ini diturunkan, oknum berinisial ES belum berhasil dimintai tanggapan. Namun, sejumlah sumber menyebut dia bak burung tajawali di tengah anak bebek: besar, ganas, dan selalu merasa berkuasa. “Orangnya ganas sih kalau ke sesama wartawan, dia banyak yang lapor wartawan ke polisi bila berita si wartawan menyinggung pejabat. Dia sudah ibarat tukang beking pejabat di sini,” ungkap seorang sumber anonim lainnya.
Sejumlah kalangan menilai praktik semacam ini bukan hanya mencederai prinsip keadilan bagi media independen, tetapi juga menodai kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan daerah. Dana yang semestinya dipakai untuk pelayanan masyarakat, malah dipelintir menjadi lahan bancakan segelintir orang (AW).
Post a Comment