Kebangkitan Melayu-Bugis di Kepulauan Riau: Menyatukan Warisan, Membangun Peradaban
Mediapertiwi,id,Batam-Sejarah tak pernah mati. Ia hanya menanti momentum untuk dihidupkan kembali oleh mereka yang masih menyimpan bara semangat dalam dada. Dan kini, barangkali inilah saatnya. Perayaan Hari Ulang Tahun Pertama Perkumpulan Kekerabatan Sulawesi Selatan (PKSS), yang akan digelar pada Minggu, 13 Juli 2025, di Hotel Golden View Batam, bukan hanya sekadar ajang silaturahmi warga Sulawesi Selatan di perantauan. Ia telah menjelma menjadi titik tolak sebuah narasi besar: kebangkitan Bugis di Kepulauan Riau, dan lebih jauh lagi, penyatuan kembali simpul-simpul Melayu dan Bugis yang telah lama terjalin namun tertidur oleh gelombang zaman.
Dengan lantang dan penuh makna, panitia mengangkat semboyan budaya yang menggugah:
“Taro Ada’ Taro Gau”, “Siri’ Na Pacce”, “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate”
— kalimat yang bukan hanya sebatas pepatah, tetapi cermin dari nilai-nilai luhur masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi kehormatan, keberanian, dan solidaritas.
Momentum ini seolah menjawab kegelisahan yang telah lama bergema di antara para pemangku budaya dan tokoh masyarakat Melayu-Bugis di Kepulauan Riau. Dalam sebuah pernyataan emosional yang sarat makna, Tengku Muhammad Fuad menyoroti kelesuan identitas Melayu hari ini. Ia menggambarkan Melayu yang tinggal hanya dipuji-puji layaknya bonsai — indah dipandang, tetapi tak mampu menjadi naungan, tak lagi berbuah, dan hidup seadanya asal jangan mati. “Buktinya, lihatlah kejadian di Rempang... di mana Melayu itu?” tanyanya getir.
Ia menegaskan bahwa Bentan — nama lama Pulau Bintan — adalah saksi dan benteng terakhir kekuasaan Melayu. Maka, jika Kepri ingin kembali berjaya, ia harus kembali ke akarnya. Kepri butuh Jebat, butuh suara rakyat, butuh keberanian yang lahir dari hati yang merdeka. Kepri, menurutnya, kini sunyi dari suara Melayu yang lantang, dan Bugis yang gagah perkasa juga seakan hilang dari gelanggang. “Semuanya tinggal sejarah yang takkan berulang... kalau kita tak mengulang sejarah,” tegasnya.
Sebab itulah, semangat acara PKSS ini bukan semata nostalgia, tapi panggilan. Seruan untuk membangun kembali peradaban Melayu-Bugis dengan kebijaksanaan leluhur dan keberanian generasi kini. Saran untuk menjadikan “Laksamana Mengamuk” sebagai simbol kebangkitan bukan hanya permainan kata-kata. Laksamana, simbol ketegasan dan kepemimpinan, disandingkan dengan kata mengamuk bukan dalam arti kekerasan, tetapi semangat untuk bangkit, menggugah, dan merebut kembali martabat yang tercerai oleh modernitas tanpa arah.
Ajakan untuk mengembalikan istana rakyat, bukan hanya berarti membangun bangunan, tetapi menghidupkan kembali roh kebudayaan, bahasa, hukum adat, dan nilai-nilai warisan yang pernah membuat Kepulauan Riau menjadi pusat peradaban Melayu Nusantara.
Ketua Panitia A. Khaeril Anwar dan Sekretaris Sarty R. Pongsanitan, bersama dengan Ketua Umum DPP PKSS Akhmud Rosano, menyampaikan bahwa peringatan ini menjadi titik awal untuk mempererat persaudaraan Sulawesi Selatan di Kepri, namun dengan semangat kolaboratif bersama masyarakat Melayu, membangun sebuah jembatan kultural yang kokoh.
“Sumpah Melayu-Bugis” yang mulai digaungkan dari panggung-panggung kecil seperti ini, bisa menjadi batu pijakan menuju gerakan kebudayaan yang lebih besar. Visi untuk menjadikan Bintan sebagai Warisan Dunia bukanlah mimpi kosong. Jika warisan leluhur kita tidak hanya dilestarikan tetapi juga diberdayakan, jika sejarah bukan hanya dikenang tetapi dijadikan rujukan kebijakan, maka Kepulauan Riau punya peluang untuk kembali bersinar sebagai poros budaya maritim Asia Tenggara.
Inilah saatnya Melayu dan Bugis bersatu, bukan sekadar dalam simbol dan kata, tetapi dalam gerakan nyata: dalam pendidikan budaya, revitalisasi situs sejarah, festival tahunan, hingga regenerasi kepemimpinan yang sadar akan akar sejarahnya. Kepri tidak kekurangan tokoh, tetapi ia membutuhkan penyatu visi. Bukan hanya pemimpin, tapi penggerak.
Peringatan hari jadi PKSS ini, dengan segala semangatnya, bisa menjadi pemantik. Bahwa sejarah bisa terulang, bukan karena masa lalu datang kembali, tetapi karena kita memilih untuk menapaki jejaknya — dengan tekad yang lebih kuat dan pandangan yang lebih luas. Kepulauan Riau bisa berjaya kembali. Dan mungkin, dari sinilah awalnya.(**).
Post a Comment