Raja Ampat dan Empat Pulau Milik Aceh Seperti Tengah Memperluas Arena Komplik
Oleh : Jacob Ereste
Mediapertiwi,id-Raja Ampat dan Empat Pulau milik Aceh yang berpindah tangan kepada Provinsi Sumatra Utara, seperti hendak melupakan masalah pemagaran laut di Pantai Utara. Tangerang, Banten seperti kesan kadus ijazah yang sengaja dipelihara bara apinya agar tidak sampai padam, seakan hendak menyelimuti desakan pemakaman terhadap wakil presiden.
Padahal surat kesepakatan yang diperoleh Tim Investigasi Atlantika Institut Nusantara antara Gubernur Sumatra Utara, Raja Inal Sireger ketika itu (1992) dengan Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan telah sepakat ihwal sengketa empat pulau di Singkil, Aceh Timur itu yang dimediasi oleh Menteri Dalam Negeri ketika itu, Jendral Purn. TNI Rudini.
Kesepakatan yang dihasilkan tentang resolusi batas wilayah antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatra Utara, bahwa (1) Keempat Pulau tersebut (Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Lipan) diakui sebagai bagian dari Wilayah Kabupaten Singkil, Provinsi Aceh.
Selanjutnya (2) Sumatra Utara tidak boleh lagi mengklaim kedaulatan atau mengeluarkan izin usaha di wajah tersebut. Lalu (3) Pengelolaan sumber data alam (perikanan. Pariwisata dll) menjadi hak penuh pemerintah Provinsi Aceh. Bahkan disebutkan juga (4) hanya kerjasama teknis -- seperti konservasi laut lintas batas -- yang boleh dibahas bersama. Itu pun, jika pemerintah Provinsi Aceh mau.
Kesepakatan ini ditandai tangani di Jakarta, disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri, Rudini dan final serta mengikat. Lalu bagaimana ujuk-ujuk Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengeluarkan putusan terhadap keempat Pulau milik Provinsi Aceh itu ?
Inilah pertanyaan yang kuat diduga terkait dengan pengalihan isu dari berbagai kasus besar yang masih menjadi perhatian publik di negeri ini. Meskipun dalam kalkulasi politik pun justru lebih kuat mendorong untuk meruntuhkan dinasti yang telah menjadi momok lantaran menimbulkan berbagai kasus, termasuk Pantai Indah Kapuk II yang bisa mendapatkan SHU dan SHM di dalam laut, bahkan bisa masuk dalam Proyek Strategis Nasional yang telah dibatalkan itu. Tapi, toh praktek penimbunan laut itu tetap berjalan, seperti terlihat dari iringan dam truk pengangkut tanah dari Wilayah Tengerang Selatan melintas di tengah kota menuju Tengerang Utara, dimana proyek PIK II itu bertengger.
Yang lebih pasti, kasus mengerukan isi perut bumi di Raja Ampat yang ditangani melibatkan sejumlah pejabat penting bersama kurcaci para konglomerat menjadi lenyap hingga dianggap tidak perlu diusut, kantoran konsentrasi publik terbelah oleh ijazah palsu dan pemakzulan putra mahkota Raja Jawa yang kini hendak dinobatkan juga sebagai Nabi paling mutakhir.
Begitulah sejumlah kasus reklamasi pantai yang ditenggelamkan ke dalam laut. Seakan masalahnya bisa dihapus begitu saja dari memori punlik, seperti arsip yang gaada Universiras Gajah Mada yang seharusnya tetap asa dan terjaga, tapi susah dinyatakan secara resmi hilang itu.
Kasus Raja Ampat pun tampaknya akan berbasis raib seperti itu, persis semacam berbagai kasus perusahaan perkebunan sawit yang merambah hutan, atau semacam kasus CSR Bank Indonesia yang menguap, tiada ada penyelesaian hingga terang dan beres. Sama senasib dengan kasus BBM oplosan Pertamina, terkesan menguap ditimpa angin.
Meski begitu, semua kasus yang mencuat tak kunjung padam itu, seperti disengaja untuk memperluas arena komplik pertarungan rakyat dengan oligarki yang mencengkeram Negeri ini. Agaknya, inilah megatrush dan tsunami yang sesungguhnya akan melantik Negeri ini dalam waktu dekat. Bukan bencana akan yang menandai kemarahan Tuhan.
Ujung Kulon, 14 Juni 2025.
Post a Comment