Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Resmi Berkantor di Gedung Yayasan Tepa Salira
Oleh:Jacob Ereste
Mediapertiwi,id-Ketua Umum Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) XS. Budi S Tanuwibowo bersama stafnya meresmikan pemakaian Sekretariat baru Matakin di Komplek Riko Royal Sunter. Jakarta Utara, Sabtu, 31 Mei 2025, yang menempati Gedung Yayasan Tepa Salira yang ditandai dengan acara pemotongan nasi tumpeng dan membagikannya kepada sejumlah tokoh, termasuk Pemimpin Spiritual Nusantara, Sri Eko Sriyanto Galgendu yang berkenan memberi sambutan dan do'a khusus dalam bahasa bumi yang menjadi ciri khas penampilannya.
Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) adalah organisasi yang mengatur perkembangan agama Khonghucu di Indonesia yang sudah ada sejak tahun1923 dan merupakan satu-satunya organisasi Khonghucu yang diakui oleh pemerintah Indonesia yang memiliki struktur keorganisasian mulai dari tingkat pusat, provinsi dan kabupaten serta kota yang disebut Makin.
Pada mulanya bernama Khonghucu Kauw Tjong Heee didirikan di Yogyakarta (PKCHI pada tahun 1955) lalu berubah lagi menjadi Perserikatan K'ing Chiao Hui Indonesia, hingga berkembang lagi menjadi Laski ( Lembaga Agama Sang Khonghucu, 1961) dan Gapaksi (1963) yang dimaksudkan sebagai Gabungan Perkumpulan Agama Khonghucu se Indonesia pada tahun 1964.
Pada tahun 1967, organisasi keagamaan kaum Tionghoa ini resmi menggunakan nama Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) yang mengemban tugas dan fungsi untuk mengawasi lembaga-lembaga keagamaan Khonghucu yang ada di Indonesia.
Mulai dari membimbing umat Khonghucu di berbagai daerah, melaksanakan berbagai aktivitas keagamaan, kajian agama serta kegiatan sosial untuk mendekatkan umat Khonghucu dengan masyarakat. Termasuk dialog, diskusi dan seminar lintas agama untuk membangun hubungan yang harmoni dengan umat dari agama yang lain.
Struktur organisasi Matakin membawahi Makin (Majelis Agama Khonghucu Indonesia), Kakin (Kebaktian Agama Khonghucu Indonesia), Sakin (Seksi Agama Khonghucu Indonesia) dan WUKL (Wadah Umat Khonghucu yang tidak terwakili oleh organisasi lainnya).
Dari berbagai tokoh dan pemuka agama dan Pemimpin Spiritual Nusantara dijelaskan juga peran pendeta dalam agama Khonghucu yang disebut Xue Shi yang tertinggi yang bertugas membimbing Jiao Sheng dan Wen Shi dalam melaksanakan tugas rohani yang mengembangkan ajaran agama Khonghucu.
Para dasarnya pemuka agama Khonghucu mendalami dan mengembangkan diri di jalan yang suci. Maka itu, selain menyebarkan ajaran dan tuntunan agama Khonghucu, mereka juga bertugas memberi pelayanan rohani kepada setiap umat Khonghucu yang membutuhkan bimbingan serta pengasuhan.
Kepercayaan dalam agama Khonghucu adanya nabi sewaktu kecil bernama Kong Qiu alias Zhong Ni, sebagai putra dari Khong Shu Liang He dan ibu yang bernama Yan Zheng Zai.
Syahdan, agama Khonghucu berasal dari kata Rujiao yang bermakna bagi orang yang berhati lembut, terpelajar dan berbudi luhur. Agama warga masyarakat Tionghoa ini konon sudah mulai ada sejak sejarah Nabi Fuxi pada 2852 sebelum Masehi (SM) yang disempurnakan oleh Nabi Agung Kongzi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Khonghucu seperti yang dikenal sekarang.
Konfusianisme di Indonesia konon sudah ada sejak abad ke-17, seperti banyak peninggalannya di Pontianak, Kalimantan adanya tempat pemujaan bagi Konfusius. Agama Khonghucu sendiri di Indonesia baru ada pada akhir abad ke-19 yang mengacu pada pembentukan Khong Kauw Tjong Heee dari Persatuan Masyarakat Khonghucu di Bandung pada tahun 1923. Meski begitu, pada gelombang pertama tahun 1901 telah terbentuk Tionghoa Hoa Hwee Koan di Batavia, yang lebih dikenal dengan sebutan Asosiasi Tionghoa Batavia.
Begitulah riwayat Matakin yang mewakili Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia yang disebut Matakin. Gerakan ini ditandai oleh warga masyarakat Tionghoa merumuskan secara serius tentang ajaran, praktek hingga tradisi dari umat beragama Khonghucu yang hadir dari berbagai daerah di Indonesia. Dan melalui Gus Dur (Abdurahman Wahid) diterbitkan Keppres No. 6 Tahun 2000 yang mencabut Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan adat istiadat Tionghoa yang menyebabkan agama Khonghucu mengalami diskriminasi. Dan Keppres No. 6 Tahun 2000 menjadi titik balik terhadap pengakuan resmi agama Khonghucu di Indonesia sampai sekarang, sehingga pertunjukan Barong Say pun dapat dipentaskan seperti pertunjukan kesenian lainnya di Indonesia. Karena semasa pemerintahan Gus Dur tidak hanya mencabut Inpres No. 6 Tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477/74054/BA.01.2/4683/95 Tahun 1978 memberi kebebasan juga untuk berkesenian.
Sunter, 31 Mei 2025.
Post a Comment