Bank Rakyat, Uang Diam, dan Oknum yang Kenyang Meugang
Mediapertiwi,id,Banda Aceh-Gubernur Aceh Muzakir Manaf telah mengajukan dua nama calon Direktur Utama untuk PT Bank Aceh Syariah. Nama Syahrul, kini menjabat sebagai Pemimpin Divisi Perencanaan, disebut-sebut sebagai kandidat terkuat. Namun, perebutan kursi panas ini tak sesederhana proses administratif biasa. Di baliknya, bergulung persoalan-persoalan lama yang tak kunjung tuntas—dari soal moral, pengawasan publik, hingga etika informasi.
Bank Aceh adalah satu-satunya bank milik rakyat Aceh. Namun dalam praktik, institusi ini lebih menyerupai sapi perah: bukan hanya bagi elite pemegang kekuasaan, tapi juga sebagian oknum birokrat, pengusaha, dan oknum jurnalis. Selama dua tahun terakhir, posisi Direktur Utama menjadi medan tarik-menarik kekuasaan yang minim transparansi. Nama Fadhil Ilyas, misalnya, telah dua kali gagal disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan—pada 2022 dan kembali ditolak pada 2024 melalui dokumen resmi SR-100/PB.101/2022 dan SR-343/PB.02/2024.
Syahrul, sejauh ini, tidak memiliki jejak penolakan. Pengalamannya sebagai pejabat eksekutif bank memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam POJK 17/2023, yang mewajibkan calon memiliki minimal lima tahun masa kerja di jabatan strategis. Lebih dari itu, ia juga dinilai relatif bersih dari konflik internal serta tidak terlibat dalam lobi politik yang selama ini mewarnai proses pemilihan direksi.
Namun, informasi yang diperoleh tim investigasi dari sumber terpercaya menunjukkan proses seleksi ini tetap tak sepenuhnya steril. Di balik layar, terdapat jaringan kepentingan yang mencoba membentuk opini dan memengaruhi keputusan pemegang saham. Seleksi berlangsung dalam senyap, jauh dari pantauan publik. Padahal posisi ini mengendalikan uang triliunan rupiah—milik rakyat Aceh.
Kenapa publik Aceh tak tahu banyak? Mengapa media lokal jarang, bahkan nyaris tak pernah, membongkar persoalan di tubuh Bank Aceh?
Temuan investigasi ini menunjukkan bahwa lemahnya pengawasan bukan semata akibat ketidaktahuan. Banyak pihak—yang seharusnya menjadi penjaga suara publik—ternyata telah terjebak dalam kenyamanan sistem. Informasi yang diperoleh tim investigasi dari sumber terpercaya menyebutkan, selama bertahun-tahun hubungan antara Bank Aceh dan sebagian oknum media dikondisikan melalui praktik yang halus tapi mengikat. Setiap menjelang hari besar seperti Ramadhan dan Idul Fitri, ratusan oknum wartawan menerima “paket meugang”—dalam bentuk bingkisan, uang tunai, hingga “amplop iklan” tanpa disertai pemberitaan yang layak.
Di luar momen itu, kegiatan liputan luar kota juga tak lepas dari aroma transaksional. Mulai dari akomodasi penuh, uang transportasi, hingga “pelatihan jurnalistik” yang tak menghasilkan laporan apapun. Beberapa media bahkan rutin memuat advertorial dan ucapan ulang tahun institusi tanpa menggali sisi kritis atau transparansi kinerja bank.
“Jatah itu dianggap wajar. Kalau terlalu kritis, bisa dicoret dari daftar,” ujar seorang jurnalis dari salah satu media lokal. Ia mengaku menerima bantuan transportasi dan uang saku, tanpa pernah menulis berita investigatif sedikit pun soal bank milik rakyat itu.
Keterangan itu menggambarkan relasi transaksional antara Bank Aceh dan sejumlah oknum media lokal. Fungsi kontrol yang seharusnya dijalankan oleh pers berubah menjadi kemitraan penuh kenyamanan. Media tak lagi menggigit, hanya mengangguk dan memuat—asal ada biaya cetak.
Pemantau media, Ery Iskandar, menyebut praktik ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai jurnalisme. “Ketika wartawan lebih takut kehilangan jatah daripada kehilangan kebenaran, maka yang lahir bukan berita, melainkan brosur berselubung etika,” ujar Ery.
Ia menilai, ada kebutuhan mendesak untuk membongkar praktik jurnalisme yang jinak terhadap kekuasaan, terutama di sektor-sektor yang menyangkut keuangan publik. “Media harusnya menjadi juru bicara rakyat, bukan bagian dari paket bingkisan lembaga.”
Kecurigaan ini bisa dibuktikan secara faktual. Rekaman CCTV di gedung utama Bank Aceh Syariah dapat memperlihatkan siapa saja yang datang menjelang hari raya. Beberapa petugas keamanan juga mengaku hafal wajah-wajah yang datang dengan kartu pers, membawa map, masuk lima menit, dan keluar dengan senyum.
“Kalau meugang atau hari besar, memang ramai. Biasanya siang menjelang sore. Ada yang datang diam-diam, ada juga yang langsung ke bagian humas,” ujar salah satu petugas keamanan.
Sementara itu, publik Aceh tak punya akses terhadap laporan investigatif soal Bank Aceh. Padahal dana yang dikelola mencapai triliunan rupiah, dan keputusan yang diambil bank berdampak luas terhadap pembangunan daerah. Tapi liputan yang muncul hanyalah berita syukuran, penyerahan CSR, atau peluncuran produk baru—tanpa analisis.
Jika kondisi ini dibiarkan, Bank Aceh akan terus menjadi institusi yang tertutup dari rakyat. Proses seleksi direksi hanya akan jadi ajang akomodasi kepentingan politik, bukan forum pemilihan profesional terbaik.
"Dan media—yang mestinya bersuara—malah memilih diam, larut dalam amplop, meugang, dan undangan liputan bertajuk “penguatan peran pers”, tutup Ery. (Tim Investigasi) .
Post a Comment