Topeng Agama Pak Teler: Dari Pamhut ke Wartawan Siluman
Mediapertiwi,id-Pak Teler, pawang hutan kategori P3K di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, kini memainkan peran ganda. Siang hari, ia masih mengenakan seragam pamhut, mengawasi kawasan hutan dengan wajah dingin. Malam hari, ia beralih peran menjadi wartawan dadakan, mendalangi jaringan media siluman yang bergerak di bawah tanah. Namun, peran Pak Teler tidak berhenti di situ. Ia juga seorang dosen, entah kapan ia mengajar, kapan menjaga hutan, dan kapan mengelola redaksi media, dan kapan jadi aktivis LSM.
Anehnya, meski memiliki banyak tugas, Pak Teler lebih dikenal karena aktivitasnya yang penuh intrik. Kelompok yang dipimpin olehnya, yang mengklaim sebagai "wartawan", dikenal paling aktif dalam memburu anggaran pokir, terutama iklan yang berkaitan dengan dana publikasi pemerintah. "Kalau soal buru pokir, saya lihat lebih aktif dan agresif. Iklan kecil saja tak akan tinggal diam, apalagi pokir," ujar Ery Iskandar, yang tak habis pikir melihat kelicikan yang dilakukan oleh Pak Teler dan kelompoknya.
Awalnya, kelompok Pak Teler berusaha menyeret dua organisasi wartawan besar untuk menyerang Ery Iskandar. Mereka berupaya memprovokasi agar organisasi tersebut membungkam kritik Ery yang belakangan ini aktif membongkar praktik media semu yang didirikan oleh oknum pamhut pemburu pokir. Namun, upaya itu gagal. Kedua organisasi itu tak mau ikut bermain.
"Kita gagal pakai cara lama," gumam Pak Teler, wajahnya menegang di bawah lampu redup ruang rapat. "Mereka nggak mau ikut main."
Setelah gagal memprovokasi, Pak Teler beralih strategi. Kini, ia mulai memainkan kartu agama. Akun media sosialnya mendadak dipenuhi video ceramah tentang pentingnya menghindari fitnah, menjaga lisan, dan tidak menebar kebencian. Pesannya jelas mengarah kepada Ery Iskandar.
"Mereka yang caci saya yang rasis, yang menghujat penuh kebencian, hanya gara-gara saya membongkar sisi gelap dunia pers yang disusupi oknum pamhut pemburu pokir media," ujar Ery, Sabtu 10 Mei malam, dalam sebuah wawancara yang mulai viral.
Namun, Pak Teler tak berhenti di situ. Ia mulai menggaet sejumlah ustaz lokal untuk memperkuat narasi 'anti-fitnah'. Video-video ceramah mereka diedit dan disisipkan potongan-potongan sindiran halus tentang bahaya menebar kebencian. Pesannya makin jelas: Ery Iskandar adalah penghasut.
Sementara itu, amplop-amplop terus mengalir. Setelah puas menggerogoti iklan pokir, kelompok Pak Teler kini menyasar iklan-iklan rendahan bernilai ratusan ribu rupiah. Satu per satu dinas diintai, satu per satu kantong diembat.
"Semua lini diembat," kata Ery dengan nada getir. "Mulai iklan miliaran sampai uang amplop seratus ribu, disikat habis. Mereka bukan lagi wartawan, mereka lintah darat."
Di Negeri UeKaWe, Pak Teler terus bermain di dua dunia: sebagai pamhut di siang hari, dosen di kampus, dan 'ustaz wartawan' di malam hari. Wajahnya berbalut senyum, kata-katanya penuh ajakan agama. Tapi di balik semua itu, ia terus menyusupkan pengaruhnya, membungkam kritik dan menguasai jaringan media siluman demi keuntungan pribadi.
Hingga berita ini tayang, oknum yang dicurigai sebagai pamhut pemburu pokir belum berhasil dimintai keterangan tentang isu keterlibatan mereka merusak iklim pers di Aceh. Ery Iskandar, yang tak kenal lelah membongkar praktek kejahatan ini, terus berjuang untuk mengungkap kebusukan di balik wajah agamawan Pak Teler yang berlapis itu.
Namun sayang, Pak Teler hanyalah alat bagi mereka yang lebih besar, para Jupikar—jurnalis pemburu pokir. Ujung-ujungnya, ia pun layak disebut Jupekor: Jurnalis Pelaku Korupsi. (*)
Post a Comment