News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Saatnya Satgas Anti Preman Membasmi Oknum Wartawan

Saatnya Satgas Anti Preman Membasmi Oknum Wartawan

 

Oleh:Ery Iskandar/ Pemantau Pers

Mediapertiwi,id-Apa yang terjadi pada dunia jurnalistik kita? Profesi yang seharusnya menjadi pilar kebenaran dan penjaga demokrasi kini dirusak oleh oknum-oknum wartawan yang memanfaatkan statusnya untuk melakukan pemerasan dan manipulasi. Mereka tidak hanya beroperasi di kota-kota besar, tetapi juga merambah ke daerah-daerah yang sering terlupakan, seperti di sekolah, kantor desa, camat, hingga pengusaha sawit. Modus operandi mereka sangat bervariasi, namun tujuannya sama: meraup keuntungan pribadi dengan mengorbankan integritas media dan mengorbankan publikasi yang seharusnya berfungsi untuk kebaikan masyarakat.

Seperti di sebuah kantor desa di Jawa Tengah, seorang wartawan berinisial P mendatangi kepala desa dengan mengancam akan menulis berita negatif mengenai kinerja pemerintah desa jika permintaannya tidak dipenuhi. “Semuanya bisa dibereskan, asal ada deal,” katanya dengan percaya diri. Sementara itu, di sebuah sekolah, wartawan berinisial J secara rutin mendatangi kepala sekolah, mengajukan permintaan uang dengan iming-iming berita positif tentang sekolah tersebut. Ini bukan kebetulan. Fenomena seperti ini berkembang pesat, mengingat tidak ada pengawasan yang efektif terhadap mereka.

Namun, praktik ini tidak hanya terbatas pada tingkat desa atau sekolah. Di tingkat yang lebih tinggi, oknum wartawan yang sudah teruji dengan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) justru lebih agresif. Mereka berkeliaran di gedung-gedung dewan dan kantor pejabat, membawa seolah-olah membawa kepentingan publik, padahal sesungguhnya mereka sedang melobi untuk mendapatkan proyek dan anggaran publikasi yang tak jelas tujuannya. “Ada beberapa wartawan yang datang setiap bulan untuk mendiskusikan pokir (pokok-pokok pikiran) dengan anggota dewan. Tak jarang, mereka meminta proyek atau anggaran tertentu yang bisa ‘menjaga’ keberadaan media mereka,” kata seorang pejabat yang enggan disebutkan namanya.

Di balik itu semua, mereka juga kerap bermain dengan rekomendasi jabatan. "Bukan hanya soal proyek, mereka juga suka merekomendasikan pegawai untuk dipindah atau naik jabatan, bahkan kadang untuk anak dan istri mereka,” tambah sumber tersebut. Seakan-akan mereka berjuang untuk kepentingan publik, namun kenyataannya mereka sedang membangun jaringan untuk memperkaya diri dan memperkokoh kekuasaan mereka.

Tidak sedikit pula oknum wartawan yang mendatangi pengusaha besar, terutama dalam industri sawit, dengan ancaman yang lebih halus: "Jika Anda tidak mendukung kegiatan kami, berita buruk tentang perusahaan Anda bisa muncul kapan saja." Para pengusaha, di tengah kekhawatiran akan dampak buruk yang bisa menurunkan reputasi perusahaan mereka, sering kali memilih untuk menyerah demi "keamanan" yang ditawarkan oknum-oknum wartawan tersebut.

Fenomena ini terus berkembang, dan yang lebih menyedihkan, hampir tak ada pengawasan yang memadai untuk mengatasi masalah ini. Dewan Pers dan organisasi wartawan lainnya lebih sibuk menjaga citra daripada menindak tegas oknum-oknum yang merusak profesi ini. "Kami sudah melaporkan beberapa kasus seperti ini, tapi yang kami dapatkan justru lebih banyak intimidasi daripada solusi,” ujar seorang anggota organisasi jurnalis yang lebih memilih untuk tidak disebutkan namanya. “Mereka yang menyalahgunakan profesi ini punya pengaruh besar, sehingga tak mudah untuk menindak mereka.”

Sementara itu, masyarakat semakin merasa dirugikan dengan ulah para wartawan tersebut. "Saya pernah ditawari untuk mempublikasikan profil perusahaan kami dengan harga tertentu. Namun, saya menolak dan, beberapa bulan kemudian, berita buruk tentang perusahaan saya tiba-tiba muncul di media mereka," ungkap seorang pengusaha yang menjadi korban pemerasan semacam ini.

Harus diakui, saatnya ada perubahan. Media harus kembali menjadi tempat yang memberikan informasi yang akurat dan bermanfaat bagi masyarakat, bukan sekadar alat untuk memeras pejabat dan pengusaha demi keuntungan pribadi. "Kami memerlukan Satgas Anti Preman untuk menumpas para wartawan yang merusak profesi ini," ujar seorang pengamat media. “Jika tidak ada tindakan tegas, kita hanya akan melihat dunia jurnalistik semakin terjerumus ke dalam korupsi dan pemerasan."

Satgas ini harus bergerak tanpa kompromi. Tidak hanya di kota-kota besar, tetapi juga di daerah-daerah yang menjadi ladang subur bagi mereka yang memanfaatkan jabatan jurnalistik untuk meraup keuntungan. Dunia jurnalistik, yang seharusnya menjaga kebenaran dan keadilan, kini telah menjadi ajang pertarungan bagi mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadi. Sudah saatnya kita membersihkan dunia pers dari para preman yang telah merusak citra dan integritas profesi ini. (*)

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment