Pedet atau Gudel Anak Sapi Yang Belum Dewasa
Oleh:Jacob Ereste
Mediapertiwi,id-Kearifan lokal itu sungguh luar biasa. Tak hanya dalam konsepsi intelektual belaka, tapi juga menembus wilayah spiritual. Seperti sebutan untuk anak sapi yang masih kecil, orang Jawa menyebutnya dengan Gudel atau Pedet, sehingga bisa dibedakan dengan sapi yang telah dewasa atau tua usianya, sehingga layak untuk menjadi bagian dari upacara ritual lebaran haji dengan menyembelih binatang qurban sebagai simbol dari rasa syukur atas segala berkah dan karunia dari Allah SWT.
Pedet atau Gudel itu juga sapi wujudnya dan jenisnya, hanya saja perlu dibedakan antara sapi yang masih anak-anak dengan sapi yang telah dewasa. Sebab esensi dari Aidul Qurban itu yang utama adalah ikhlas dan pengorbanan. Seperti ketauladanan dari Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan anaknya, Nabi Ismail karena perintah Allah. Jadi mengorbankan anak yang paling dicintai itu adalah keyakinan dan keikhlasan kepada Tuhan yang tidak bisa dimanipulasi lantaran sifatnya sakral dan spiritual. Bila tidak, maka apa yang dilakukan itu akan sia-sia belaka.
Atas pemahaman dan pengertian serupa itu, agaknya inspirasi dalam budaya Jawa perlu membedakan anak sapi dengan sapi yang telah dewasa. Sehingga pedet atau gudel dapat dipahami tidak memenuhi syarat untuk menjadi hewan kurban pada rangkaian perayaan lebaran Aidul Adha.
Adapun esensi dari hari raya Aidul Adha itu sendiri adalah simbol atau wujud dari ketundukan yang total kepada Allah SWT yang diwujudkan dalam pengorbanan.
Sikap dan tunduk kepada kehendak Illahi ini merupakan bagian dari puncak ibadah yang diyakini dan dipercaya oleh umat Islam tidak perlu ditawar-tawar. Toh, agama sendiri telah menggariskan bahwa serangkaian ibadah haji itu hanya wajib dilakukan oleh mereka yang mampu saja, tetapi menjadi kewajiban bagi mereka yang telah mampu melakukannya.
Kecuali itu, nilai-nilai ibadah Aidul Qurban dengan menyembelih hewan secara baik dan benar merupakan bagian dari kepedulian sosial, karena daging hewan yang disembelih itu harus dan wajib dibagikan kepada mereka yang dianggap berhak menerimanya, utamanya bagi fakir miskin sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas demi keadilan. Sehingga esensi berikutnya adalah pembersihan hati secara tulus dan ikhlas sebagai ekspresi dari penyembelihan ego, keserakahan dan kepentingan yang mementingkan diri sendiri.
Jadi sikap dalam memaksakan sesuatu apapun -- apalagi untuk memposisikan anak yang belum memenuhi syarat menduduki suatu jabatan -- adalah haram atau terlarang sifatnya dalam ajaran dan tuntunan agama. Apalagi sampai harus merampas hak orang lain dengan dalih dan cara apapun yang dilakukan melalui pembenaran hukum maupun melalui perundang-undangan yang direkayasa sedemikian rupa hingga membuat kegaduhan dan mengusik rasa nyaman orang lain.
Pengorbanan Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail itu tertulis jelas dalam alkitab sejak ribuan tahun silam ini sampai kini tetap up to date dan relevan untuk disandingkan dengan sikap rakus dan tamak bahkan degil dan dugul manusia pada hari ini yang semakin egoistis dan individualistik untuk memperkaya dirinya sendiri, tanpa perduli dengan derita maupun hak orang lain.
Dan kewajiban hanya diberlakukan bagi mereka yang mampu itu pun maknanya adalah demi dan untuk kejujuran yang harus selalu menjadi pertimbangan, artinya tidak perlu untuk memaksakan diri melakukannya bila sungguh tidak mampu, tetapi juga wajib melaksanakan dalam batas kemampuan yang dimiliki. Maka itu, ada diantaranya yang tidak cuma menyembelih seekor kambing, tapi juga menyembelih seekor sapi atau kerbau. Yang penting, bukan pedet atau gudel, seperti mereka yang tidak memiliki kapasitas untuk menjabat posisi tertentu, sehingga bisanya cuma plonga-plongo saja, tak bisa melakukan apa-apa.
Maka itu tugas dan jabatan itu relevan disebut amanah, sebab harus ditunaikan dengan pengorbanan seperti apapun, bukan untuk mementingkan keperluan, apalagi sekedar untuk memperkaya diri dan keluarga sendiri. Sebab amanah itu berasal dari mandat rakyat yang tidak boleh dirampas, apalagi terus disalahgunakan.
Pecenongan, 28 Mei 2025 .
.
Post a Comment