News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Pecatan Iri, Tengik, dan Masih Menggila

Pecatan Iri, Tengik, dan Masih Menggila

 

Mediapertiwi,id,Banda Aceh-Dia adalah sosok yang selalu merasa paling hebat. Iri melihat kesuksesan orang lain, dan tak segan meremehkan mereka. Padahal, dirinya sendiri adalah pecatan—diusir dari media tempatnya bekerja karena skandal penggelapan dana iklan. Namun, di matanya, semua orang tetap tak ada apa-apanya. Hanya dia yang pantas disebut wartawan sejati. 

Di era digital yang semakin menggila, ada sekelompok wartawan tua yang masih bertahan di jalur lama: berburu iklan ke sana kemari, mengandalkan nama media yang mirip dengan yang sudah ada, hanya tinggal tambah satu kata. Mereka memanfaatkan sisa-sisa pengaruh masa lalu, mengaku mantan pemimpin redaksi, mantan direktur, mantan apa saja—asal masih bisa menyambung hidup.

Salah satu dari mereka adalah Ijon Tengik. Di usianya yang sudah senja, tubuhnya ringkih dan napasnya pendek. Namun, mulutnya tetap lancar merumpi, mengkritik sana-sini, seakan-akan dirinya masih tokoh penting di dunia pers. "Apa sih media baru itu? Gak ada apa-apanya dibandingkan media kita dulu," begitu katanya sambil menyulut rokok di sudut bibirnya yang sudah menghitam.

Nama medianya memang mirip dengan salah satu koran terkenal. Cuma tambah satu kata. Itu pun kata-kata generik: ‘Pos’, ‘Kabar’, ‘Berita’. Intinya, cukup untuk membuat pejabat daerah dan kepala dinas terkecoh. Dengan modal selembar kartu pers dan kata-kata manis, ia menyusup ke acara-acara pemerintah. Dari ucapan selamat hingga pariwara, dari iklan reguler hingga pokir. Semuanya ia sapu bersih.

"Pokir itu gampang. Tinggal main lobi. Saya kan masih kenal semua pejabat lama," katanya dengan bangga. Entah benar entah tidak. Yang jelas, ia selalu berhasil membawa pulang segepok uang iklan. Nominalnya tak seberapa, tapi kalau dikalikan lima atau sepuluh kali, lumayan untuk hidup satu bulan.

Ijon Tengik pernah berjaya di masa lalu. Ia pernah memimpin koran lokal yang cukup besar. Tapi setelah media itu berubah manajemen, ia tersingkir. Kini, ia hanya punya kenangan dan sejumlah kartu nama yang sebagian besar sudah tidak aktif. Namun, itu tidak membuatnya berhenti berburu iklan. Justru ia semakin agresif. Ia tahu umurnya tidak lama lagi. Sakit sudah mulai menyerangnya. "Jantung ini sudah mulai rewel," katanya sambil mengelus dada.

Namun, meski tubuhnya sakit-sakitan, mulutnya tetap lancar mengkritik. Karena sejatinya, Ijon Tengik bukan lagi wartawan. Ia tengkulak media, meski di matanya sendiri, ia tetap wartawan paling hebat yang pernah ada. Padahal, ia dipecat mendadak dari media lamanya karena diduga menggelapkan dana iklan. 

Otaknya uang, dari muda hingga kini, tapi tetap saja mengaku sebagai wartawan utama super senior. Padahal, kerjanya cuma jualan koran, minta iklan, dan tagih iklan. Mirip tengkulak di pedesaan yang membeli murah hasil panen padi petani karena sudah lebih dulu menjebak mereka dalam utang. Ijon Tengik juga begitu. Ia mendekati pejabat, menawarkan publikasi, meminjam nama besar media, lalu menagih bayaran seolah-olah pemberitaan itu benar-benar penting dan berpengaruh.  

Penulis ulung, pengkritik tajam, yang lain tak ada apa-apanya. Hajatnya besar: ingin jadi raja, yang lain semua tak layak. "Ah, itu wartawan baru cuma bisa koar-koar di media sosial. Gak ada isinya! Dulu saya bisa angkat telepon sekali, berita langsung naik di halaman depan!" katanya dengan nada sombong. Padahal, media yang ia pimpin dulu juga tak lebih dari media cetak beroplah kecil yang hanya dibaca di kantor pemerintahan.

"Kapan sadar ya?" kata seorang rekan sesama wartawan. "Udah tua, sakit-sakitan, tapi mulut masih kayak speaker pecah. Bukannya tobat, malah makin jadi."

Ijon Tengik tidak mendengar. Atau mungkin mendengar tapi tidak peduli. Selama masih ada pejabat yang mau bayar ucapan selamat, selama masih ada kepala dinas yang butuh publikasi pesanan, Ijon Tengik akan terus berburu. Mungkin sampai napas terakhirnya.

Pemantau pers, Ery Iskandar, menegaskan bahwa perilaku wartawan yang berkeliaran mencari iklan bukan hanya melanggar kode etik, tapi juga mencederai marwah profesi. Menurutnya, jurnalis memiliki tugas utama untuk mengabarkan kebenaran, mengawasi kekuasaan, dan mengedukasi publik, bukan menjadi makelar iklan yang menyamar sebagai pewarta.minggu 11 mei 2025.

"Aturan Dewan Pers sudah sangat jelas. Wartawan tidak boleh menjadi perantara iklan atau bertransaksi langsung dengan pihak pemasang iklan. Jika seorang wartawan menggunakan medianya untuk meraup keuntungan pribadi lewat iklan, maka ia bukan lagi jurnalis, melainkan tengkulak berita. Sanksi harus ditegakkan agar profesi ini tidak semakin terdegradasi menjadi sekadar alat pemerasan dan lobi murahan," ujar Ery.

Ia juga mengingatkan bahwa kode etik jurnalistik Indonesia secara tegas menyebutkan larangan bagi wartawan untuk menerima imbalan dalam bentuk apapun terkait pemberitaan. Jika wartawan mulai menggadaikan kredibilitas medianya untuk uang, maka independensi berita menjadi diragukan. "Ini bukan lagi jurnalisme, tapi pemerasan terselubung," tambahnya.

Ery juga menyoroti fenomena wartawan-wartawan tua yang dulunya pernah memimpin media besar namun kini beralih menjadi pemburu iklan. "Ini fenomena yang memprihatinkan. Mereka seolah lupa bahwa media mereka tidak lagi memiliki pengaruh sebesar dulu. Mereka menggunakan nama besar masa lalu untuk mengemis iklan, mengaku wartawan senior, padahal kerjanya hanya menawarkan space iklan dari pintu ke pintu," ujarnya.

Lebih jauh, Ery menilai bahwa peran Dewan Pers harus lebih aktif dalam mengawasi praktik semacam ini. "Dewan Pers tidak boleh hanya jadi pengamat pasif. Mereka harus turun tangan, menyelidiki praktik-praktik seperti ini, dan memberikan sanksi yang tegas. Wartawan yang ketahuan menjual berita demi iklan harus dicabut sertifikat UKW-nya dan diumumkan secara terbuka agar publik tahu siapa saja yang mencemari profesi ini."

"Wartawan bukan tengkulak, bukan pedagang iklan. Mereka adalah penjaga nilai-nilai kebenaran, pilar demokrasi, dan pengawas kekuasaan. Jika mereka menjilat pejabat demi pariwara atau menyalahgunakan jabatan untuk mencari keuntungan pribadi, maka mereka sudah mengkhianati profesinya. Pers harus bersih dari mentalitas tengkulak jika ingin kembali dipercaya publik," pungkas Ery Iskandar. (Andi S) . 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment