News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Pawang Hutan, Wartawan Jadi-jadian, dan Bisnis Gelap yang Dilindungi Etika Palsu

Pawang Hutan, Wartawan Jadi-jadian, dan Bisnis Gelap yang Dilindungi Etika Palsu

 
Oleh : Ery Iskandar/Pemantau Pawang Hutan Pemburu Pokir

Mediapertiwi,id-Di Aceh, profesi wartawan semakin tergerus bukan hanya oleh intervensi kekuasaan, melainkan oleh para penyusup yang datang membawa stempel, sertifikat, dan narasi palsu. Mereka bukan jurnalis, tapi petualang. Salah satunya bernama TKR, atau lebih dikenal dengan nama samaran "Pok Pok Wo", sosok yang selama ini menerima gaji dari negara sebagai tenaga kontrak di Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Aceh.

Tapi itu belum cukup. TKR juga tercatat sebagai dosen tetap di sebuah perguruan tinggi swasta di kawasan Sigli, Kabupaten Pidie. Maka lengkaplah rangkap perannya: akademisi di ruang kuliah, ASN kontrak di hutan negara, dan “wartawan” jadi-jadian yang mendirikan media demi mengakses dana pokir dan publikasi dari berbagai instansi pemerintah.

Jangan kira status dinas dan akademik menghalangi ambisinya. Dengan koleksi dokumen PT media, stempel redaksi, dan kartu pers, ia menjalankan bisnis publikasi gelap berbasis dana pokir. Media baginya bukan ruang kritik atau dialektika, tapi jaring untuk menangkap paket anggaran.

Lalu, ketika awak Media dan saya, sebagai penulis, mulai membongkar skema ini, alih-alih menjawab secara substantif, TKR menulis artikel tandingan berjudul “Etika Jurnalisme di Ujung Tanduk”, dimuat di Daily Mail Indonesia. Di sana ia menuduh kami menyerang pribadi, membunuh karakter, dan mengaburkan batas antara kritik dan fitnah.

Ironis. Seorang bukan wartawan bicara etika jurnalisme. Seorang penerima gaji negara dan dosen tetap yang memakai media pribadi untuk mengejar dana publikasi, kini berkhotbah soal moral profesi.

Tulisan TKR bukan untuk membela etika. Ia sedang panik. Skema yang selama ini berjalan mulus—mendirikan media semu, memoles proposal publikasi, lalu “bermitra” dengan oknum legislatif dan dinas—tiba-tiba tersorot cahaya. Maka ia mengalihkan sorotan dengan narasi moral, seolah ia korban, seolah ia jurnalis sejati yang diserang oleh kecemburuan.

Padahal kami tidak menyerang. Kami mengungkap. Kami tidak berkonflik kepentingan. Kami sedang menyelamatkan marwah profesi ini dari para penyusup yang menjadikannya sapi perah. Dan publik tahu siapa yang bicara berdasarkan rekam jejak, siapa yang bersuara demi menyelamatkan akal sehat pers lokal.

Tulisan TKR adalah alarm palsu yang dibunyikan oleh maling saat rumahnya mulai terancam digrebek. Ia menuduh kami tidak beretika, padahal dirinya menyalahgunakan posisi sebagai ASN kontrak dan dosen tetap untuk membangun kerajaan media bayangan.

Inilah saatnya organisasi pers, perguruan tinggi, dan instansi pemerintah melihat lebih jauh: siapa sebenarnya yang mencemari profesi ini? Siapa yang menjadikan kartu pers dan PT media sebagai alat negoisasi gelap, bukan alat perjuangan untuk kebenaran?

Jangan biarkan pawang hutan mengatur arah angin dunia pers. Jangan biarkan penyamun memakai jubah jurnalis demi mengamankan bisnisnya. Wartawan sejati tidak akan pernah takut pada kritik, tapi para penipu selalu panik saat kebenaran mulai dibaca publik. (Red,Hr). 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment