Pamhut dan Asoe Lhok: Di Balik Anggaran
Mediapertiwi,id,Banda Aceh-Kebakaran hutan terus berulang di Aceh. Saban tahun, asap mengepul dari perbukitan yang terbakar, meninggalkan jejak arang dan kemiskinan. Sementara pemerintah berdalih tidak berdaya, Pamhut (Polisi Kehutanan) justru semakin jarang terlihat. "Jumlah mereka ribuan, tapi di lapangan nyaris tak tampak," kata Ery Iskandar, pengamat yang sejak lama memantau kinerja Pamhut.minggu 11 Mei 2025.
Ironisnya, jumlah anggaran untuk Pamhut Aceh terus melonjak setiap tahun, mencapai puluhan miliar rupiah. "Jika realisasinya selalu 100 persen, lalu di mana mereka bekerja?" sergah Ery. Ia menuding adanya kongkalingkong dalam penggunaan anggaran tersebut. "Banyak Pamhut kini memilih profesi lain. Ada yang jadi dosen, wartawan, bahkan anggota dewan. Sementara hutan tetap terbakar."
Ery mencurigai bahwa sebagian Pamhut di Aceh kini lebih sibuk berburu anggaran daripada menjaga hutan. "Mereka tidak fokus lagi pada tugas utama. Mereka lebih sibuk mencari peluang lain," ujarnya. Salah satunya adalah Pak Teler, mantan petugas Pamhut yang kini merajai proyek anggaran pokir (pokok pikiran) di kalangan anggota dewan. Meski baru saja lulus P3K, Pak Teler tetap bertahan di jaringan lama bersama Jupikar, mantan Pamhut yang kini menjadi penghubung utama antara jurnalis UKW dan pengelola proyek anggaran.
"Saat itu dia masih Pamhut, tapi entah bagaimana bisa lulus UKW," kata Ery. "Siapa dalangnya? Siapa yang mengamankan posisinya?"
Jupikar adalah sosok ambisius yang kini telah memiliki modal besar. Ia dikenal piawai memainkan isu primordial Asoe Lhok untuk menjatuhkan lawan-lawannya, termasuk Ery Iskandar. "Sesama mereka saja saling jelekin. Yang dari Asoe Lhok dituding asli Aceh, yang dari luar disebut awak lua," sindir Ery. Dengan strategi adu domba itu, Jupikar berhasil menguasai jaringan wartawan bayaran dan mengerahkan anak buahnya: Rajah Lee, Syuurkawin, dan Kakek Cabul.
Rajah Lee, mantan penjual ikan keliling, kini menjadi pengelola situs web yang isinya tak lebih dari rilis pers murahan. "Bukan berita investigasi, tapi hanya pengantar proposal proyek," kata Ery. Syuurkawin dan Kakek Cabul, dua pria tua tanpa pekerjaan tetap, kini menjadi penyebar berita dan penekan pihak yang berseberangan dengan Pak Teler. "Mereka cuma alat. Orang-orang tanpa latar belakang jurnalistik, hanya modal kartu UKW dan proposal," lanjut Ery.
Sementara itu, jaringan Pak Teler terus berkembang. Kini, mereka tak lagi berburu berita, melainkan berburu anggaran. Jupikar, yang kini sudah kaya raya, menjadi penyandang dana utama untuk membeli pengaruh di kalangan anggota dewan. Rajah Lee, Syuurkawin, dan Kakek Cabul menjadi kaki tangan untuk melobi proyek dan menyebarkan fitnah jika ada pihak yang mengusik.
"Sudah saatnya KPK turun tangan," tegas Ery. Ia menyebutkan bahwa skema penguasaan anggaran oleh mantan Pamhut dan jurnalis gadungan ini sudah menjadi rahasia umum. "Kalau tidak diusut sekarang, Aceh akan terus terbakar, baik hutannya maupun anggarannya." (AS/Red) .
Post a Comment