News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Oknum Wartawan UKW Jadi Sales Iklan, Dewan Pers Diam?

Oknum Wartawan UKW Jadi Sales Iklan, Dewan Pers Diam?

  

Mediapertiwi,id,Banda Aceh-Sertifikasi kompetensi wartawan (UKW) yang semestinya menjadi tolok ukur profesionalisme dan integritas, kini menyimpan paradoks di lapangan. Sejumlah oknum wartawan justru menggunakan label “tersertifikasi” sebagai alat legitimasi untuk menawarkan jasa publikasi kepada instansi pemerintah, perusahaan, kontraktor, hingga bank-bank lokal. Dalam praktiknya, mereka lebih menyerupai sales iklan ketimbang pewarta yang mencari kebenaran dan kepentingan publik.

Fenomena ini bukan hal baru, namun dalam beberapa bulan terakhir—berdasarkan penelusuran Tim Investigasi—praktik tersebut berlangsung semakin terang-terangan. Mereka mendatangi kantor-kantor dinas dan lembaga negara, membawa proposal kerja sama publikasi, menawarkan paket advertorial, bahkan menyodorkan invoice iklan tanpa adanya permintaan atau aktivitas jurnalistik yang sah. Sebagian besar hanya menyodorkan kartu identitas, tangkapan layar logo media, dan klaim “akses ke redaksi nasional”.

Seorang pejabat humas di lingkungan pemerintahan mengaku kerap didatangi oleh wartawan yang mengaku tersertifikasi, namun tidak pernah mengajukan permintaan wawancara atau konfirmasi berita. “Langsung bicara soal anggaran. Kalau kami tolak, mereka kadang kirim link berita yang menyudutkan. Beritanya pun tidak hasil wawancara langsung,” ujar pejabat tersebut kepada Tim Investigasi, merujuk pada pengalamannya yang sudah-sudah.

Dari pengumpulan data yang dilakukan sejak awal Februari hingga akhir Maret 2025, ditemukan pola serupa di berbagai kabupaten/kota. Nama-nama yang disebut berasal dari berbagai jenjang sertifikasi UKW: Z dan N , B, D, DR, dan S , serta A, T, AN, HS, IJN, dan N. Beberapa di antaranya bahkan diketahui tidak lagi aktif menulis, namun tetap aktif mendatangi instansi untuk menagih iklan atau menyodorkan kerjasama.

Lebih mencengangkan, sejumlah pengurus organisasi kewartawanan di Aceh juga terlibat langsung dalam praktik ini. Inisial seperti J, N, dan Syt muncul dalam laporan informal dari berbagai instansi. Mereka memanfaatkan jabatan struktural di organisasi profesi untuk membangun jaringan bisnis media yang samar antara kerja jurnalistik dan kepentingan komersial. “Bagi sebagian orang, menjadi ketua organisasi justru membuka jalan masuk ke jaringan anggaran,” ujar seorang mantan pengurus organisasi jurnalis di Aceh, yang meminta namanya tidak ditulis.

Fenomena ini menandai degradasi serius dalam praktik jurnalistik lokal. Seorang tokoh media nasional, Wahyu Muryadi, saat dihubungi pada 10 April 2025, menyebut hal ini sebagai bentuk penyimpangan nilai-nilai dasar pers. “Sejak awal, Dewan Pers sudah mengingatkan agar ruang redaksi dan ruang bisnis dipisahkan tegas. Begitu wartawan ikut menagih anggaran, dia bukan lagi wartawan. Dia sales,” katanya lugas.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida, dalam pernyataannya pada pertengahan Maret 2024 juga menegaskan bahwa jurnalis yang memanfaatkan profesi untuk keuntungan pribadi telah melanggar kode etik dan prinsip profesionalisme. “Itu bukan jurnalisme. Itu praktik premanisme yang merusak kepercayaan publik,” katanya.

Di berbagai kesempatan, Dewan Pers menegaskan pentingnya pemisahan fungsi redaksional dan komersial. Ketua Dewan Pers saat itu, Ninik Rahayu, dalam pernyataan resmi tertanggal 28 Februari 2024, menekankan bahwa setiap pelaku pers wajib menjaga integritas. “Sertifikasi bukan izin berdagang, melainkan bukti profesionalisme untuk kepentingan publik,” ujar Ninik. Namun, peringatan demi peringatan tersebut seperti tak bergema di lapangan.

Salah satu sumber internal Dewan Pers yang enggan disebutkan namanya membantah tudingan bahwa lembaga itu berdiam diri. “Kami tidak diam. Ini baru kami dapat informasinya, dan sudah saya sampaikan ke Ibu Ninik. Silakan juga disampaikan secara resmi ke Dewan Pers agar dapat kami tindaklanjuti secara kelembagaan,” ujarnya kepada tim investigasi dalam percakapan awal April lalu. Menurutnya, tindakan terhadap pelanggaran etika profesi membutuhkan laporan yang jelas dan bukti-bukti pendukung. Ia mendorong agar organisasi profesi di daerah lebih aktif menyampaikan laporan resmi agar bisa ditindak sesuai mekanisme yang ada. “Kami terbuka menerima masukan. Tapi semua harus disampaikan secara tertulis agar bisa kami bawa ke forum resmi,” tambahnya.

Dalam banyak kasus, status UKW justru digunakan sebagai alat tekanan terhadap instansi yang enggan memberikan anggaran iklan. “Ada yang menyebut dirinya wartawan utama, lalu menunjukkan kartu dan langsung ajukan penawaran kerja sama. UKW bukan untuk cari berita, tapi supaya gampang cari uang,” ujar seorang pejabat di lingkungan pemerintah kabupaten.

Kepala cabang sebuah BUMN di Banda Aceh juga mengaku sering menerima surat penawaran dari media yang tidak ia kenal, lengkap dengan invoice, tapi tanpa pernah ada kerja sama resmi. “Kalau kami tidak tanggapi, mereka cari celah untuk menyerang lewat pemberitaan yang tidak berimbang,” katanya.

Ery Iskandar, pemerhati pers, Sabtu, 17 Mei 2025 menyebut pentingnya audit menyeluruh terhadap para pemegang sertifikat UKW yang tidak aktif menjalankan kerja jurnalistik secara sah. “UKW itu alat ukur, bukan alat legalisasi. Jika digunakan untuk menutupi praktik-praktik ekonomi gelap berkedok jurnalistik, itu bukan saja melanggar etik, tapi bisa masuk ranah hukum,” tegasnya.

Ia juga mendorong agar Dewan Pers dan lembaga penguji seperti PWI, AJI, dan IJTI melakukan evaluasi dan pengawasan pasca-UKW. “Portofolio saat ujian tidak menjamin integritas di lapangan. Harus ada sistem monitoring secara berkala,” tambahnya.

Sejumlah tokoh media di luar Aceh turut menyuarakan keprihatinan atas praktik-praktik ini, termasuk mantan anggota Komisi Etik Dewan Pers, Ahmad Djauhar, yang pernah menyebut bahwa tren wartawan menjadi pemilik sekaligus pemungut anggaran adalah warisan buruk dari media yang lahir hanya untuk mengejar APBD. “Itu media tanpa roh jurnalistik. Ia hanya kendaraan bisnis yang menyaru profesi,” katanya dalam seminar evaluasi etika pers pada 2022 silam. (Tim Investigasi) . 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment