Jupikar: Dari Pawang Hutan ke Raja Pokir
Mediapertiwi,id-Dulu mereka memburu babi hutan. Kini mereka memburu anggaran. Dari pawang hutan yang terbiasa membaca jejak di tanah basah, mereka kini membaca sinyal dari pejabat dan celah dalam APBK. Seragam coklat kehutanan diganti rompi pers, peluit diganti kartu UKW. Di Aceh Besar, Banda Aceh, hingga tingkat provinsi, mereka hadir sebagai jupikar—jurnalis pokir minim karya. Tak punya rubrik tetap, tak paham dasar jurnalistik, tapi nama mereka muncul di setiap proposal publikasi.
Mereka bukan wartawan dalam pengertian profesi. Mereka lahir dari dunia-dunia yang jauh dari ruang redaksi: dosen paruh waktu di perguruan tinggi swasta luar kota, aktivis LSM yang lebih sering nongkrong di kafe daripada turun ke lapangan, tokoh adat yang bicara etika sambil memungut fee, bahkan penjual obat herbal yang kini meracik narasi demi invoice. Modal mereka bukan liputan, tapi lobi. Senjata mereka bukan berita, tapi proposal.
Media mereka pun seolah lahir dari warung kopi dan mimpi semalam. Ada yang namanya mirip obat kuat—Kuat Daily, misalnya—yang menjanjikan stamina namun tak pernah tayang lebih dari dua berita seminggu. Ada pula yang pakai nama-nama sok global: Amplop People, Pokir Voice, Bidik News International, Radar Public Fund—semuanya demi kesan gagah dan profesional, padahal isinya hancur minah. Tak ada editor, tak ada redaksi, hanya logo, domain murah, dan mimpi besar. Ironisnya, untuk bikin akta notaris saja sering kali mereka masih menunggak. Tapi soal bikin invoice bernomor dan berbadan hukum, mereka jago luar biasa.
Di books redaksi, nama-nama wartawan utama dicantumkan dengan bangga—padahal bisa saja hanya dipinjam demi lobi. Wartawan senior, pemegang UKW tingkat tinggi, ikut diperalat oleh sang pawang hutan yang kini merangkap pawang redaksi. Berita pun asal isi, judul vulgar, narasi sembrono, bahkan kata-kata tak layak bisa jadi headline—yang penting, tagihan jalan.
Setelah jadi bidikan BPKP, mereka bukannya tiarap. Malah tambah aktif. Mereka berlomba mendaftarkan media ke Dewan Pers meski tak punya kantor tetap, kru profesional, atau rubrikasi jelas. Organisasi wartawan dilobi, bahkan dibayar, agar bisa dapat kartu dan status anggota. UKW bukan lagi uji kelayakan, tapi jalur legitimasi.
Salah satu dari mereka bangga disebut pengusaha. Setelah cair dana pokir, mereka koleksi perempuan, tampil bak taipan, hidup glamor meski modal hanya dari proposal dan "asoe lhok"—penduduk asli yang dijadikan pion pencairan. Yang satu lagi memamerkan status dosen swasta, berharap gelar akademik bisa membuka akses birokrasi. Tapi moral? Nol besar.
Mereka tak hanya mengincar iklan pokir miliaran. Bahkan bantuan anak yatim, sedekah meugang, hingga amplop 100 ribu dari desa pun tak luput disikat. Hari-hari mereka habis untuk kirim pesan ke pejabat: minta uang, dalih liputan, dalih keluar kota. Padahal yang diliput tak jelas, yang ditulis tidak pernah tayang, dan yang diterbitkan hanya invoice.
Namun, seperti halnya tak ada kebohongan yang abadi, kasus ini akhirnya terungkap. Tak lagi bisa ditutupi, jejak-jejak kecurangan mulai terkuak. Tapi, bukannya takut atau menyesal, si pawang hutan justru mulai berlagak seperti seorang figur yang penuh kearifan. Dengan wajah polos, dia mulai mengungkit masa lalu—bahwa si pembongkar kasus dulu adalah orang yang pernah ia bantu, diberi makan, bahkan dirawat. Sebuah taktik licik untuk mencoba membalikkan narasi. "Aku yang buat kamu, aku yang beri makan," mereka katakan, mencoba menutupi amarah dengan dalih kasih sayang. Sebuah drama yang seolah ingin mengubah diri menjadi pahlawan di mata publik.
Namun, narasi tak berhenti di sana. Ketika jupikar mulai berhadapan dengan kenyataan, dan kejahatan pokir mereka mulai terbongkar, mereka tak ragu untuk menyerang balik. Media yang mereka kuasai tiba-tiba memuat kata-kata tak pantas, menyerang pribadi jurnalis yang berhasil membuka tabir kejahatan mereka. Berita yang keluar bukan lagi soal fakta, tapi serangan pribadi yang murahan. Narasi dihiasi fitnah, komentar tak senonoh, bahkan gosip murahan. Semua demi mendiskreditkan orang yang berani membongkar kebusukan mereka. Judul-judul kasar dan provokatif muncul, semuanya hanya untuk merusak reputasi, dengan harapan bisa mengalihkan perhatian publik.
Di dunia jupikar, tak ada etika. Semua bisa dijual, bahkan harga diri. Tak ada batasan untuk mencapai tujuan. Satu-satunya yang mereka jaga adalah satu hal: bagaimana mereka bisa terus mengumpulkan pokir, mengaburkan kebenaran, dan mengendalikan permainan ini. (Er) .
Post a Comment