News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Dari Pejabat Basah ke Media Sampah: Jejak Busuk Wartawan Pencari Jatah

Dari Pejabat Basah ke Media Sampah: Jejak Busuk Wartawan Pencari Jatah

 
Mediapertiwi,id,Banda Aceh-Alamak, kisah seorang pria berinisial SO yang pernah menjadi pejabat eselon pengelola anggaran publikasi, kini berubah menjadi tragedi kelam yang mengusik dunia pers. Syahdan, setelah pensiun dari dunia birokrasi yang sarat intrik dan aroma basah itu, SO mencoba mengalihkan ambisinya ke ranah media online. Alih-alih menjadi pelopor kebebasan pers yang mencerdaskan, media daring yang ia kelola justru menjadi ladang sampah informasi yang menyesakkan.

Mental minta jatah yang sudah mendarah daging sejak masa kejayaannya sebagai pejabat basah, ternyata tak luntur meski ia bertransformasi menjadi pengelola media. “Kalau tak bagi fifty-fifty, iklan tak akan dipasang,” ungkap saksi hidup yang enggan disebut namanya. Pat gulipat, kekuasaan yang dulu ia genggam dengan tangan besi kini berusaha ia ulangi lewat media yang ia dirikan sendiri dari rumahnya.

Syahdan, SO bukan sekadar sosok mantan pejabat yang berusaha bertahan hidup pasca pensiun. Ia dikenal pernah mengoleksi wanita simpanan sebagai bukti gaya hidup mewah yang tak pernah bisa dipisahkan dari jabatannya yang sarat uang publik. Setelah turun dari panggung birokrasi, ambisinya untuk berjaya di dunia pers malah berbuah pahit. Penyakit stres dan keluhan tak berkesudahan pada bos-bos media lain kerap mewarnai hari-harinya.

Alih-alih membangun citra sebagai wartawan atau pengelola media yang independen, SO malah kerap merepet dan menyalahkan para pemilik media yang berhasil mengelola medianya secara profesional. Padahal, kata mereka, “soal integritas dan standar kerja jurnalisme saja, dia jauh panggang dari api.”

Tidak cukup sampai di situ, ketika SO bersama kawan-kawannya turut mendirikan organisasi media lokal, harapannya tentu agar bisa mendapat panggung sekaligus ruang jatah iklan. Namun sayang, sang mantan pejabat basah ini justru harus rela ditendang dari organisasi itu setelah sikap dan opininya yang penuh kebencian dan iri dengki dianggap mengganggu bisnis iklan media massa lainnya.

Setelah dipecat, alih-alih introspeksi, SO malah melompat ke organisasi lain yang, dari namanya saja, tak layak dan tak sinkron. Tak heran jika para kawannya menyebutnya sebagai organisasi “merek motor bebek.” Sindiran pedas mengiringi—“Dari Angsa ke Honda Mio,” begitulah ejekan yang terlontar dari mulut mereka yang dulu dekat dengannya.

Ironis, mantan pejabat yang dulu berkuasa dan bergelimang kemewahan kini merosot ke level yang sama sekali berbeda, yang jauh dari genggaman. Alamak, redaksi kami mendapat laporan terkini bahwa media online yang dikelola SO kini tak lagi berdaya. Berita-berita lama yang penuh hoax satu per satu telah dihapus. Hanya tersisa jejak digital di dunia maya yang saat diklik, “sudah hilang,” kata Ery Iskandar, pemantau pers dan jurnalis investigasi yang terus memantau fenomena ini dengan seksama.

Sayang, upaya konfirmasi kami masih menemui jalan buntu. SO yang dulunya piawai mengatur segalanya kini sering menghilang begitu kasusnya mulai terbuka ke publik. Seolah ingin menghindar dari segala konsekuensi.

Informasi terbaru juga menyebutkan bahwa SO diduga kuat terlibat dalam praktik pemerasan serta pengelolaan iklan pokir yang sarat konflik kepentingan dan manipulasi. Seorang kerabat dekat SO membenarkan perilaku tersebut. Ia menganggap SO hanya berani berbicara lantang ketika tak lagi mendapatkan bagian dari anggaran iklan. “Dia ribut saat tak dapat jatah saja. Maklum, biaya hidup tinggi, penghasilan merosot pasca tak lagi jadi pejabat basah,” sindirnya.

Kalau dulu ia memegang kendali anggaran dengan tangan besi, kini cuma mampu berteriak-teriak demi sepotong kue kecil dari sisa-sisa kekuasaan lama. Fenomena SO bukan sekadar kasus individual, melainkan mencerminkan luka lama yang tak kunjung sembuh di dunia pers nasional.

Ketika ruang redaksi dikuasai oleh sosok-sosok yang memanfaatkan media sebagai alat tekanan dan bisnis pribadi, maka yang lahir bukanlah berita bermutu, melainkan sampah informasi yang dikemas seolah-olah kebenaran. “Kalau ruang publik dikuasai oleh mereka yang hanya ingin minta jatah, maka kebebasan pers hanyalah sandiwara belaka,” kata Ery Iskandar, pemantau pers dan jurnalis investigasi.

Menurut Ery, fenomena semacam ini tidak hanya terjadi pada SO, tetapi juga banyak mantan pejabat lain yang memanfaatkan media untuk memeras demi keuntungan pribadi. “Mereka ini hanya menumpang nama media untuk mendapatkan akses iklan. Kalau iklannya tak mengalir, mulailah mereka bikin opini liar untuk menekan,” ungkapnya, tak menutupi kegeramannya.

Lebih jauh lagi, Ery menekankan bahwa fenomena ini telah merusak citra jurnalisme secara keseluruhan. Alih-alih menjalankan fungsi kontrol sosial, media-media semacam itu malah menjadi perpanjangan tangan dari kepentingan pribadi segelintir oknum. “Jika tidak, yang tersisa hanyalah kenangan pahit dari era ‘pejabat basah’ yang mencoba mengulang sejarah dengan cara yang lebih buruk: menjadi pemburu jatah di balik layar media yang rapuh,” pungkas Ery, menyudahi penjelasannya dengan nada getir. (Tim Investigasi) . 

Catatan Kaki:

Redaksi memberikan ruang seluas-luasnya kepada Saudara SO untuk memberikan klarifikasi, sanggahan, maupun hak jawab terkait seluruh isi laporan ini. Kami siap memuat pernyataan SO demi menjaga prinsip jurnalistik yang berimbang dan objektif.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment