News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Pamplet Puitis Yang Tergantung Di Pagar Parlemen

Pamplet Puitis Yang Tergantung Di Pagar Parlemen

 

Oleh:Jacob Ereste 

Mediapertiwi,id--Entah sejak kapan rumah rakyat itu tak lagi boleh disinggahi oleh rakyat. Jadi secara defacto maupun dejure rakyat tak lagi punya kuasa atas hak-haknya -- termasuk menitipkan pesan sekali pun -- meski amanah dan mandat sudah diberikan oleh rakyat.

Jadi rumah rakyat itu praktis tidak lagi menampung wakil rakyat. Lalu siapa gerangan penghuninya sekarang yang masih  menyebut dirinya sebagai wakili rakyat ? 

Sayang, gedung seindah dan semegah itu sekarang begitu terkesan angker. Sebab rakyat yang datang mengetuk pintunya, justru dihadang oleh pagar angkuh dan kawat berduri agar tidak terusik ketenteraman penghuninya, meski sekedar untuk menyampaikan keluh dan aduh betapa nestapanya hidup di negeri Pancasila ini.

Tak ada rasa malu, tak ada rasa sungkan atas sumpah dan janji untuk menyuarakan bisikan hati rakyat yang didera derita. Bukan saja masalah hukum maupun  perundang-undangan belaka yang lahir sungsang dari gedung  yang terlanjur pongah itu sekarang untuk terus mengatas namakan rakyat, tetapi juga sulit dipaham tentang rekening listrik yang dibiarkan naik  mencekik, upah buruh yang murah serta sistem pendidikan yang dikelola seperti perusahaan komersial. 

Semua tak mereka gubris sekejap pun meski rakyat sudah marah melontarkan sumpah serapah karena gundah. Teriakan histeris pun di jalan raya yang sudah dibelah itu agar supaya luapan derap langkah rakyat bisa dibatasi.

Sementara mereka di dalam gedung yang semakin angkur dan angker itu mungkin sedang bersenda gurau, saling olok tentang kendaraan mewah yang sudah dianggap kadaluarsa modelnya. 

Sehingga diantara persidangan yang maha penting pun yang akan sangat  menentukan nasib rakyat, justru mereka santai bergunjing ikhwal harga pesanan kendaraan terbaru itu, dianggap terlalu murah. Sebab dalam berbagai kesempatan harga diri jadi setara dengan harga barang yang mereka gunakan.

Mitos rumah rakyat itu telah usang dan lapuk  dalam Prama bahasa yang santun, hingga bermaknanya yang sakral, telah habis tergadai entah siapa pula pengijon utamanya. Karena semua sudah tidak lagi berarti apa-apa, kecuali jadi  tempat transaksi setelah menerima order dan gelontoran uang yang tidak terkira nilainya. 

Konon cerita, justru peredaran uang di rumah rakyat  yang tinggal mitosnya ini lebih liar putaran peredarannya dibanding yang terjadi di Departemen Keuangan atau Dirjen Pajak yang sedang heboh dibicarakan.

Sungguh tak ada yang tahu, bagaimana sesungguhnya suasana hati nurani mereka yang terus menari diatas derita rakyat. 

Demikianlah sepenggal narasi yang tergurat pada pamplet yang tersangkut diujung pagar rumah rakyat yang terkesan semakin angkuh dan angker itu. Agaknya, pamplet yang tersisa ini yang diusung para demonstran sejak pagi hingga menjelang tengah malam, menunggu pintu gerbangnya dibuka. 

Dan pamplet yang lupa dibacakan ini entah oleh milik mahasiswa atau buruh, mungkin juga pemuda yang baru saja lulus dari sekolah menengah, karena tak mampu meneruskan kuliah akibat biaya sosok menyogok pun tak alang kepalang mahalnya. Apalagi di Universitas Lampung dan Universitas di Bali yang baru saja memasang tarif selangit.

Pada pengunjuk rasa yang menggedor pintu gerbang rumah rakyat itu tetap tidak bergeming. Tak ada jawaban -- apalagi sekedar sapaan -- bahwa pada saatnya kelak kalian pun akan keluar dari kejumawahan yang sementara itu untuk  kemudian tersungkur ke liang kubur.

Aku terpesona membaca pamplet yang sudah lusuh ini, hingga perlu kucari ulang sambil pulang ke rumah agar dapat lebih kupahami apa sesungguhnya makna  yang tersirat didalam suratannya yang tak jelas siapa penulisnya yang sangat puitis ini.

Rumah rakyat tidak pernah dimaknai sebagai rumah Tuhan. Meski suara rakyat yang terus diekploitir sebagai suara Tuhan. Toh, orang pintar bilang, orang Indonesia tak takut kepada Tuhan. Tapi mereka lebih takut pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak bisa diajak berkongsi dan kolusi. Apalagi KPK sudah ditengarai oleh banyak orang  semakin canggih dan pandai melakukan rekayasa.

Banten, 8 April 2023

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment