News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Bangsa dan Negara Kita Yang Sedang Dalam Pertaruhan

Bangsa dan Negara Kita Yang Sedang Dalam Pertaruhan

 

 Oleh:Jacob Ereste 

Mediapertiwi,id.Banten--Demokrasi Pancasila itu terangkum dalam sila musyarawah mufakat sebagai etika berbangsa dan bernegara. Karena itu, semua hal yang terpaut dengan kepentingan orang banyak harus dibicarakan baik-baik. Tak bisa memaksakan kehendak sendiri. Apalagi sampai memuyuskan secara sepihak, seenak udelnya sendiri.

Kasus pemaksaan kehendak ini sudah banyak terjadi dan dilakukan oleh rezim pemerintahan Joko Widodo, mulai dari amandemen UUD 1945 yang dibuag semasa Amin Rais hingga Omnibus Law yang menjadi UU Cipta Kerja yang hingga kini digantung oleh KPK karena cacat prosedur dan tidak mengindahkan suara rakyat yang sudah tidak lagi dipercaya sebagai suara Tuhan.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) yang digunduli hlingga tidak berdaya apa-apa diparlemen karena dibuat seperti anak yatim piatu, sejak awal telah membuat rasa cewas maupun ketesahan, sebab hanya menjadi lembaga stempel belaka. Padahal fitrah awalnya dari dimaksudkan untuk membuat keseimbangan dalam mewujudkan aspirasi rakyat.

UUD 1945 yang telah dianandemen itu pjn masih menyebut bahwa anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) itu terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta utusan golongan dan utusan daerah. Tapi sejak UUD 1945 diukur dengan dalih amandemen oleh Amin Rais dan gerombolan nyari dulu, sejak itu anggota MPR RI hanya terdiri dari DPR RI DPD saja yang dipilih oleh rakyat tanpa menyertakan utusan golongan.

Akibatnya, bukan hanya utusan daerah jadi mandul dan tidak berdaya apa-apa kecuali jadi tukang stempel belaka, tetapi juga utusan golongan tak pernah dapat mikrofon seperti yang terjadi di DPR RI, karena kalau masih ada suara yang bakal bocor, maja mikrofon yang sesungguhnya pun segera dimatikan.

Makna dari mematikan mikrofon dalam acara Sidang di DPR RI itu adakaj potret nyata dari demokrasi yang cuma jadi asesoris belaka di negeri ini.

Utusan golongan itu sesungguhnya lebih urgen dari utusan daerah yang cuma. Dan utusan daerah pun diberi jatah terbatas -- pukul rata -- cuma tiga orang dari masing-masing provinsi, jadi tidak berdasarkan priporsional jumlah penduduk. Maka ibarat orang yang digunduli, seperti kepala plontos yang dicukur habis hingga gampang pula masuk angin. Atau, harus diamankan dengan topi penutup seperti fenomena dari trend gundul yang dilakukan banyak orang sekarang.

Sanepo alam serupa itu persis dengan teguran berupa gempa dan banjir dimana-mana, seakan-akan ingin menunjukkan riuh dan gaduhnya dengan jumlah kejahatan yang sudah sangat amat gawat, karena korupsi terus meledak dan meletup seperti sejumlah gunung di Indonesia.

Lalu banjir pun, seakan ingin menggambarkan peredaran narkoba dan maraknya perjudian yang telah diternakkan, karena bagi mereka -- yang seharusnya melakukan pencegahan dan pemberantasan -- justru menjadi aktor dan dalang dari permainan busuk itu. Semua jelas merugikan bangsa dan Negara hingga menjadi semakin tidak sehat.

Idealnya, DPD RI berwajah genap -- tak ganjil hanya mewakili daerah --  supaya ada juga wakil golongan, san kiotanya harus sesuai dengan jumlah wakil DPR RI dari daerah setempat. Jika tidak, wakil rakyat yang berasal dari partai politik akan semakin gampang dan rapuh diintimidasi oleh keoentinan partai yang telah menggerus habis kepentinan rakyat.

Maka itu tak heran, gerendeng dalam masyarakat semua anggota dewan di parlemen itu hanya mewakili partai, tidak lagi mewakilj rakyat asal dari tempat pemilihannya.

Cilakanya, antara partai yang menang dan partai yang keok dalam Pemilu kemudian sepakat membuat koalisi -- damai, bagi-bagi jatah -- untuk tidak saling mengganggu dan mengusik keasyikan dari lapak masing-masing itu. Kerusakan sistem tata kelola negara -- yang pasti buntutnya mrngepret bangsa -- seperti bagi-bagi jabatan untuk para tim sukses, baik untuk jatah dari kegislatif maupun jatah dari eksekutif nyaris semua tidak memiliki kemampuan kerja yang profesional dalam bidangnya. Maka itu, fenomena resufle menjadi semacam trend yang tidak memalukan. Padahal, resufle itu bukti dari salah pilih lantaran tidak cukup memiliki pengetahuan serta penguasaan wawasan yang luas.

Kekacauan di habitat legislatif semakin membukukan ketika marangsek masuk wilayah eksekutif yang plohang-plohong karena memang belum cukup memahami hak-hak dan kewajibannya, lantaran umumnya karena didapat secara mendadak. 

Artinya, dalam tatanan logika insan pers, amsalnya seperti seorang kawan jurnalis yang mendapat hadiah mendadak sebuah laptop tercanggih, karena dia masih gagap, tentu saja tidak bisa diharap segera bekerja dengan cara profesional,  hingga tidak bisa menghasilkan produk kerja yang aduhai. Jadi, bisa dibayangkan bilz kabinet -- atau segenap penata kelola bangsa dan negara ini dilakukan sambil coba-coba -- karena memang keahlian dan kemampuan serta pengetehuannya tak mjmpuni, maka jelas tidak bisa diharap banyak mampu melakukan pembenahan apalagi perbaikan dari apa saja yang sudah rusak sebumnya. 

Yang lebih, cilaka adalah -- jangan-jangan semua itu semakin rusak sekarang ini -- karena cuma didasari oleh semangat coba-coba semata. Sehingga kerusakan yang sedikit semakin merambat ke mana-mana semakin tidak terkendali seperti yang terjadi sekarang.

Tampaknya demikianlah relevansinya dari kehadiran GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang bergandeng tangan dengan sejumlah Posko Negarawan di Indonesia hari ini, hendak menjawab krisis etika, morzl dan akhlak yang membuat langka sosok negarawan yang mau berpikir ikhlas, jujur dan serius serta berani berdiri di depan untuk memimpin gerakan kesadaran dan pemahaman terhadap upaya menyelamatkan bangsa dan negara. 

Banten, 13 Januari 2023

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment