News Breaking
Live
wb_sunny

Breaking News

Khitanan Massal Berujung Petaka di Kuansing, Ketua IAKMI Riau Nopriadi Angkat Bicara

Khitanan Massal Berujung Petaka di Kuansing, Ketua IAKMI Riau Nopriadi Angkat Bicara

 
Mediapertiwi,co.id.Kuansing--Kasus terpotongnya kemaluan Bocah saat khitanan massal di Cerenti, Kuansing, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan besar bagi banyak kalangan publik, terkhusus bagi tenaga kesehatan tentunya ini akan menjadi sorotan bagi para medis. Terkait kasus malpraktek ini ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Provinsi Riau Dr. Nopriadi, SKM,.M.Kes mengatakan.

"Menurut saya Itu merupakan dugaan kasus malpraktik. Karena dinilai adanya kesembronoan (Professional miscounduct) atau ketidak cakapan oknum perawat yang melakukan khitan (sirkumsisi) yang tidak dapat diterima (unreasonable lack of skill). Biasanya diukur dengan tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikan oleh perawat atau tenaga kesehatan profesional lainnya pada

situasi dan kondisi di dalam suatu komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian, Ucap Nopriadi dalam keterangan tertulisnya, Selasa 27 Desember 2022.

Secara medis khitan (sirkumsisi) itu adalah memotong prepusium, yaitu kulit yang mentupi glans penis.

"Sirkumsisi sendiri bisa masuk kedalam kewenangan mandat, perawat hanya dapat melakukan tindakan tersebut hanya jika ada perlimpahan wewenang dari dokter. Dalam pelaksanaan tindakan sirkumsisi harus bersama dengan pengawasan dokter. Pelimpahan wewenang ini mempunyai tanggung jawab dan tanggung gugat yang berada pada pemberi mandat (dokter). Pidana yang bisa dituntutkan kepada tenaga kesehatan dalam hal ini perawat adalah Pasal 360 KUHP dan Pasal 84 UU Tenaga

Kesehatan. Perbuatan yang dilakukan di luar kewajiban merupakan tindakan melawan hukum, kesalahan yang dalam hal ini berupa kelalaian, dan tidak adanya alasan pembenar atau pemaaf. Maka dari itu penting untuk dievaluasi karena memiliki efek yang merugikan bagi pasien sehingga kesalahan

dan kelalaian tidak terulang kembali di kemudian hari. Kita tahu bahwa permasalahan malpraktik sirkumsisi seperti ini juga sering terjadi di berbagai daerah, seperti baru-baru ini kasus yang hampir sama, berakhir di pengadilan tanggal 23 Juni 2022 lalu di Kota Pangkal Pinang dan terdakwa divonis 2 tahun penjara, "Terang Nopriadi.

Prinsipnya seorang perawat dapat melakukan tindakan medis dengan syarat adanya pelimpahan wewenang dari dokter.

Seorang perawat memiliki kompetensi dalam melakukan asuhan keperawatan profesional kepada pasien, bukan melakukan tindakan medis tertentu.

"Tindakan medis tertentu merupakan kegiatan kolaborasi antara dokter dan perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Hal ini jelas bahwa tindakan medis hanya legal dilakukan oleh dokter, bukan perawat. Apabila dokter tidak dapat melakukan tindakan medis maka dokter boleh meminta bantuan perawat untuk melakukan tindakan tersebut, dengan syarat dokter wajib memberikan pelimpahan kewenangan yang jelas kepada perawat secara tertulis untuk melakukan tindakan medis tersebut. 

Dasar hukum untuk menjatuhkan pidana kepada perawat (tenaga kesehatan) yang melakukan delik atas dasar culpa adalah adanya perbuatan yang merugikan berbagai kepentingan, baik itu kepentingan individu maupun kepentingan masyarakat. Dengan adanya dasar culpa tersebut pasal yang dikenakan Pasal 360 KUHP. Serta dikaitkan dengan Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Kesehatan. Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan

Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun, "Ucap Nopriadi.

Jika perawat memberikan perawatan yang tidak memenuhi standar maka mereka dapat dianggap lalai. Kelalaian merupakan segala tindakan yang dilakukan dan dapat melanggar standar sehingga mengakibatkan cidera dan kerugian orang lain. Kelalaian praktik keperawatan adalah seseorang perawat yang tidak mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim.

Ketika khitan berlangsung kepala alat kelamin korban terpotong hingga mengalami luka berat dan harus dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat lebih lanjut. Dalam praktiknya tersebut oknum perawat ini juga perlu diperiksa apakah beliau sudah memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktek perawat? ,Apakah benar-benar sudah memiliki pengetahuan, skill dan keterampilan melakukan khitan? , Saya pikir teman-teman dari Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kabupaten Kuansing atau Provinsi Riau tentu sudah bekerja menginvestigasi dan mengkaji apakah ada pelanggaran etik profesi? apakah yang bersangkutan sudah bekerja sesuai dengan standar operating prosedur (SOP)? serta apakah sudah menerapkan standar pelayanan dengan benar? ,Dengan adanya korban seperti ini seharusnya ada sanksi sesuai standar profesi yang diberikan kepada oknum perawat yang melakukan sirkumsisi tersebut, karena bisa dinilai melakukan malpraktik atau kelalaian.


Semoga Tim dari PPNI yang sudah mendalami kasus ini bisa memberikan informasi yang lebih jelas dan  mencerahkan kepada masyarakat dan anggota profesi serta pihak terkait lainnya.


Pemeriksaan dan tanggung jawab tentu tidak hanya pada perawat pelaksana, tapi juga dokter penanggung jawab kegiatan dan manajemen klinik  penyelenggara sunatan massal.


Saya dapat informasi bahwa pihak manajemen klinik telah menyatakan bertanggung jawab akan mengobati pasien sampai sembuh dan keluarga pasien menyatakan siap berdamai dan tidak akan menuntut. Ini sebenarnya hal yang bagus agar tidak sampai diproses hukum.

Tapi pertanyaannya apakah keluarga pasien ini sudah benar-benar mengetahui dan menyadari dampak yang diterima dan dialami oleh korban baik penderitaan yang dirasakan saat ini maupun masa depan si korban? Semoga tidak ada penyesalan kemudian hari. 


Sebenarnya jika keluarga pasien menuntut maka bisa saja akhirnya oknum tenaga kesehatan  ini ditetapkan menjadi tersangka oleh aparat penegak hukum dan dijerat pelaku dengan Pasal 360 KUHP dan pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Karena diduga terjadinya malpraktik yang berujung pada putusnya bagian dari kemaluan (penis) korban, atau dinyatakan lalai dan merugikan pasien sehingga pihak berwajib menjerat pelaku tersebut dengan pasal 360 KUHP.

Dalam Pasal 78 UU Tenaga Kesehatan menyebutkan apabila tenaga kesehatan termasuk perawat diduga lalai dalam menjalankan profesinya dan menimbulkan sengketa maka penyelesaian sengketa tersebut harus diselesaikan diluar pengadilan terlebih dahulu. Seperti  dijelaskan sebelumnya bahwa kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan dan dapat menimbulkan pertanggungjawaban pidana maka ia harus bertanggungjawab. Namun karena jenisnya adalah lalai maka

ancaman pidananya lebih ringan dari

pada tindak pidana yang dilakukan karena sengaja. Dalam Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan telah disebutkan ancaman pidana bagi tenaga kesehatan apabila melakukan kelalaian berat sehingga

apabila perawat terbukti melakukan kelalaian berat maka perawat tersebut harus bertanggung jawab. Perawat dapat dipidana apabila terbukti melakukan kelalaian dan menyababkan kerugian pada pasien sesuai dengan Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan.

Dalam Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan,menyebutkan apabila perawat lalai dan menyebabkan orang luka berat maka diberikan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun. Juga dalam Pasal 360

KUHP menyebutkan barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapatkan luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau kurungan paling lama 1(satu) tahun. 

Pertanggungjawaban hukum pidana tenaga kesehatan dalam hal ini perawat merupakan tanggung jawab secara perorangan atas kesalahan dan kelalaian yang menyebabkan kerugian dan atau penderitaan terhadap pasien dalam hubungannya dengan tindakan medis yaitu tindakan khitan (sirkumsisi) yang dilakukan terhadap pasien dalam rangka pemenuhan upaya kesehatan.(R.o) 

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.

Post a Comment